Unsur Intrinsik dalam Ludruk
I.
Latar
belakang
Ludruk merupakan
kesenian khas tradisional masyarakat Jawa Timur, ludruk juga bisa dikatakan
sebagai teater rakyat. Hal ini dikarenakan ludruk merupakan kesenian yang
tumbuh dan berasal dari masyarakat. Kesenian ludruk merupakan ekspresi
kehidupan masyarakat yang berkembang pada jamannya. Kesenian ini berkembang di
masyarakat Jawa Timur, khususnya masyarakat Surabaya. Dan sekitarnya.
Selain pengertian
di atas, kesenian ludruk adalah kesenian tradisional dari Jawa Timur yang
berupa drama. Dalam hal ini, drama dapat dimasukan dalam kategori sebuah karya
fiksi. Sebab di dalam drama ada sebuah cerita dari teks yang diceritakan ulang
melalui gerak dan penghayatan. Pertumbuhan dan perkembangan seni ludruk dapat
dikatakan bahwa, seni ludruk merupakan keutuhan dari tiga genre: ngeremo (tari
kepahlawanan), dagelan, dan cerita atau lakon. Oleh sebab itu, sebagai salah
satu kesenian rakyat, seni ludruk banyak
membawakan cerita yang berakar dari folklore dan folktale. Dalam perkembangan
seni ludruk, juga dapat dikatakan sebagai sandiwara yang memiliki beberapa
orang sebagai pelaku dalam ceritanya. Menurut Forster dalam (Nurgiyantoro, 2013:143),
mengartikan cerita sebagai sebuah narasi sebagi kejadian yang sengaja disusun
berdasarkan urutan waktu. Sedangkan seperti halnya Forster, Abram (1999:173)
juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana
dalam urutan waktu, dan Kenny (1966:12) mengartikan sebagai peristiwa-peristiwa
yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi.
Berdasarkan pengertian di atas, maka Ludruk (drama) dapat disebut sebuah cerita
maupun sebuah karya fiksi.
Ada beberapa pihak
yang mendukung terselenggaranya pertunjukan ludruk. Ada 6 pendukung dalam
permainan ludruk, yaitu: sutradara, pemain ludruk, nayaga, pesinden, property,
dan pencahayaan (Lisbajanto, 2013). Berdasarkan hal tersebut, khususnya poin pertama
dan kedua (sutradara dan pemain ludruk), dapat dijadikan landasan utama dalam
menemukan unsur intrinsik ludruk itu sendiri. Sebab, sutradara itu sendiri
merupakan pengatur dan pemimpin sandiwara film dan sebagainya. Sutradara yang
membuat jalannya cerita, sedangkan pemain yang akan menjalankannya. Dalam
membuat jalannya cerita, sutradara akan mensimulasikannya dalam bentuk teks,
dan teks inilah yang menjadi sumber dalam mencari unsur intrinsik dalam cerita
ludruk. Teks tersebut dapat diperolah atau dipahami dalam transkip.
Menurut Sutejo dan
Kasnadi dalam bukunya Apresiasi Prosa, setiap
penikmat sastra berhadapan dengan teks sastra pada awalnya harus memahami unsur
intrinsik, karena pemahaman unsur intrinsik menjadi modal pemahaman unsur yang
lain seperti sosiologi, psikologi, moral, filsafat, dan sebagainya.
II.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
tema dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”?
2.
Bagaimana
Penokohan tokoh dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”?
3.
Bagaimana
alur dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”?
4.
Bagaimana
latar dan setting dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”?
III.
Tujuan
1.
Untuk
menemukan tema dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”.
2.
Untuk
memahami penokohan dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”.
3.
Untuk
memahami alur dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”.
4.
Untuk
memahami latar dan setting dalam ludruk “Aku Rindu Mekkah”.
IV.
Manfaat
1.
Dapat
memahami tokoh dan penokohan secara mendalam
2.
Dapat
memahami alur, latar, dan setting.
3.
Dapat
meningkatkan daya intepretasi bagi pembaca atau penonton.
Landasan Teori
1.
Unsur
intrinsik
Seperti yang sudah
dibahas dalam pendahuluan, ludruk juga dapat dikatakan sebuah drama. Sebab,
dalam ludruk juga terdapat sebuah cerita dari teks yang diceritakan ulang
melalui gerak dan penghayatan, seperti halnya pada drama.
Sebuah drama
dibangun oleh dua unsure, yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Sedangkan
tema dalam drama diletakkan tersendiri dari unsur-unsur lainnya, yakni disebu
dengan isi drama. Sebagaimana halnya cerpen dan novel, drama pun memunyai
pikiran pokok yang hendak diutarakan pengarangnya. Pikiran pokok ini merupakan
suatu yang diyakini, suatu pendirian, paling tidak dalam kaitan drama atau
naskah yang dihasilkannya. Drama yang tidak jelas sikapnya, arah alurnya tidak
akan menentu. Pikiran pokok yang demikian itulah yang dinamakan tema.
Tema kadang-kadang
juga disebut premis. Tetapi, jika dicermati tema dan premis memiliki perbedaan.
Dalam premis dibahas masalah inti yang
hendak diutarakan, misalny “maut” sedangkan tema di dalamnya merumuskan tentang
maut tadi, misalnya “maut” bisa berarti
“kesintingan”, bisa juga berarti suatau kegembiraan, atau bisa juga
suatu yang tidka berarti apa-apa. Ini bergantung pada kutup pandangan pengarang
bersangkutan. Dalam tulisan ini akan dibahas unsur intrinsik drama.
2.
Alur
Alur atau plot yang
dimaksudkan di sini adalah alur literer (alur naskah), bukan alur tingkah laku
actor di atas panggung. Jadi, alur dalam pengertian di sini adalah rentetan
peristiwa yang terjadi, yang membangun cerita dari awal samap akhir. Alur dalam
sebuah drama harus disusun sedemikian rupa. Perpindahan dari satu peristiwa ke
peristiwa lain harus logis agar segala peristiwa mampun mengikat penonton.
Effendi (1974: 165)
berpendapat bahwa alur drama terdiri dari lima bagian perkembangan, yaitu (1)
pembeberan mula/introduksi, eksposisi;
(2) penggawatan atau komplikasi; (3) klimaks atau puncak kegawatan; (4)
peleraian; dan (5) penyelesaian atau konklusi. Hamzah (1985) berpendapat bahwa
alur adalah serangkaian hubungan sebab akibat yang bergerak dari awal hingga
akhir. Tambayong (1981:34) membagi alur
sebagai berikut (1) eksposisi, yakni gambaran selintas mengenai drama yang
ditonton; (2) konflik, yakni pelaku cerita terlibat dalam suatu persoalan; (3)
komplikasi, yakni terjadi persoalan baru dalam cerita. Di sini tiap watak
tumbuh sendiri-sendiri dan saling memengaruhi; (4) krisis, yakni pertentangan
yagn harus diimbangi dengan jalan keluar, mana yang baik mana yang buruk, lalu
ditentukan pihak mana yang melanjutkan cerita; (5) resolusi, yakni penyelesaian
persoalan atau disebut juga falling-action. Apakah meski sedih atau gembira; dan (6) keputusan,
yakni konflik terakhir menuju ke penyelesaian cerita.
3.
Perwatakan
atau Penokohan.
Perwatakan amat
penting dalam drama. Tanpa perwatakan tidak bakal ada cerita, tanpa perwatakan
tidak bakal ada alur. Namun, keduanya saling membutuhkan. Brahim (1968; 89)
mengandaikan perwatakan dan alur tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Pengungkapan watak
dengan dialog dapat dilakukan dengan kata-kata yagn diucapkan sendiri oleh
pelaku dalam percakapan denan pelaku lain dari kata-kata yang diucapkan oleh
pelaku lain tentang dirinya. Masing-masing tokoh dalam drama membawa tugas
tertentu dan berdasarkan tugas-tugas yang diembannya. Tokoh-tokoh itu dapat
digolongkan menjadi tiga, yakni (1) tokoh protagonist, yakni tokoh utama dalam
drama yang muncul ingin mengatasi pelbagai persoalan di dalam mencapai
cita-cita; (2) antagonis, yakni tokoh yang melawan cita-cita protagonist; (3)
tokoh tritagonis, yakni tokoh yang idak memiliki sifat baik dan sifat
antagonis-dialah pihak ketiga yang kadang-kadang menjadi pihak pendamai.
4.
Pelataran
(Setting)
Pemahaman atas
pelataran bagi pembaca merupakan hal yang tak kalah penting. Sebab salah satu
upaya untuk membantu imaji pembaca adalah mengenali tempat, waktu, dan
peristiwa yang terjadi. Seperti menurut (Abram, 1999:284) dalam Burhan, latar
atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian
tempat, ubungan waktu sejarah, dan lingkungan social tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Lalu Stanton (1965) mengelompokkan latar,
bersama degnan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah
yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika
membaca sebuah cerita fiksi.
Sebab, sebagaimana
penulisan prosa fiksi, penentuan setting cerita merupakan hal mendasar.
Kegagalan dalam melukiskan setting akan mengurangi kemenarikannya. Pemikiran setting
dapat menentukan watak tokoh, barangkali tidaklah berlebihan. Karena dalam
pengkarakteran tokoh dalam fiksi, lingkup gaul, waktu, tempat terjadinya kisah
berandil besar terhadap gambaran cerita. Setting masjid, biasanya untuk
“gambaran” orang-orang yang baik. Penjahat, karena itu-nyaris tak “mengenal”
masjid. Demikian juga tokoh penjahat bisasanya dekat dengan kompleks bar, dan
dunia-dunia hiburan yang gemerlap. Setting juga seringkali menggambarkan
“kedekatan” pengarang dengan dunia ciptaannya.
Metode Penelitian
1.
Data
dan Sumber Data
Cerita yang dibawakan dalam ludruk
“Aku Rindu Mekkah”; rekaman ludruk “Aku Rindu Mekkah”.
Sumber data utama dalam penelitian
kualitatif yaitu kata-kata atau pernyataan yang disampaikan oleh responden. Dan
tingkah laku yang ditunjukkan oleh objek peneliti.
2.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan data secara
lisan maupun tertulis sehingga dalam penelitian ini memiliki teknik pengumpulan
data, sebagai berikut:
a.
Observasi
Observasi, yaitu melakukan pengamatan atau
peninjauan dengan secara langsung ke lapangan untuk mendapatkan suatu gambaran
yang nyata mengenai obyek yang sedang diteliti. Yaitu secara langsung mengamati
pertunjukan Ludruk “Aku Rindu Mekkah” dari awal hingga akhir. Untuk mendapatkan
informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi data penelitian.
b.
Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini, yaitu
meliputi video yang diteliti sebagai hasil bukti dan bahan dalam pengumpulan
data untuk menjawab permasalahan penelitian.
c.
Transkrip
Transkrip merupakan catatan yang disalin dari
suara ke tulisan. Penggunaan transkrip dalam penelitian ini adalah untuk
mendapatkan sebuah salinan data resmi dari pertunjukan yang telah diteliti.
Dari transkrip kita bisa mengetahui apa yang dibicarakan dan jalan cerita
pertunjukan tersebut.
3.
Teknik Analisis
Analisis data merupakan metode deskripsi dan
penyusunan interpretasi peneliti terhadap obyek penilitian yang telah
dilakukan, serta diperkuat oleh transkrip interview serta material lain yang
terkumpul.
Proses analisis tersebut yakni dengan mencari
pokok persoalan yang penting dari data yang tekah diperoleh untuk disajikan
kepada orang lain menggunakan metode analisa. Data yang terkumpul akan
dianalisa secara kualitatif dan kemudian disimpulkaan.
a.
Pengumpulan Data
Data ini diperoleh dari hasil observasi dan
dokumentasi dalam catatan lapangan. Yang berisi tentang apa yang dilihat,
didengar, dan dialami sendiri oleh peneliti tanpa adanya penafsirandari
peneliti mengenai fenemona yang dijumpai.
b.
Penyajian Data
Penyajian data sebagai sekumpulan informasi
yang disusun dan diberikan untuk adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.Penyajian data cenderung mengarah pada penyederhanaan atas kompleks ke
dalam bentuk yang sederhana sehingga mudah untuk dipahami.
c.
Penarikan Kesimpulan.
Kesimpulan merupakan titik terakhir dalam
pembuatan laporan.Penarikan kesimpulan merupakan usaha mencari dan memahami
penjelasan. Kesimpulan yang ditarik segera diverifikasi dengan cara melihat dan
memepertanyakan pemahamn yang lebih tepat. Hal ini dlakukan agar data yang
diperoleh memiliki valiiditas sehngga kesimpulan yang ditarik menjadi kuat.
Daftar Pustaka
Emzir dan Rohman, Saifur. 2016.Teori dan Pengajaran Sastra.Jakarta:
Rajawali Pers.
Lisbijanto, Herry.2013.Ludruk.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ratna, Nyoman Kutha.2015.Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga
Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutejo dan Kasnadi.2016.Apresiasi Prosa: Mencari Nilai, Memahami Fiksi.Yogyakarta:
Terakata.
Komentar
Posting Komentar