Masyarakat dalam Pusaran Hiperealitas


BAB I
PEDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Budaya konsumtif manusia dalam periode kekinian ini sudah berada pada tahap kebergantungan, kerancuan, kemobilisasian, ketundukan, hingga pada ranah kekuasaan.  Pola tersebut, sudah menyebar hampir ke segala aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari kalangan elit hingga menyebar sampai kalangan bawah, pola konsumtif yang dijalani cenderung berlebihan, terstruktur, dan dinamis. Dalam kehidupan yang sudah tidak berpusat ini (Oposisi biner), budaya konsumtif masyarakat sudah masuk dalam dunia kesemuan, sebuah dunia yang tidak mengenal batas antara kenyataan dan kepalsuan (Simulacra). Istilah simulacra (simulacrum) dan simulasi (simulation)  memiliki perbedaan yang tipis. The Oxford English Dictionary memberikan pengertian simulacra dengan “aksi atau tindakan menirukan dengan maksud menipu”. Selanjutnya dikemukakan penjelasan lain: asumsi atau penampilan palsu, kemiripan permukaan, tiruan dari sesuatu. konsep simulasi seperti ini bisa diberkan penjelasan dengan simulasi sebagai tiuran pesawat terbang melalui tiruannya. Sementara simulacra didefinisikan sebagai “sebuah citra material”. Konsep Simulacra inilah yang menjadi dasar atas pergerakan konsumtif masyarakat dalam dewasa ini.
Masyarakat dewasa ini, lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat imaji dan belum pasti. Lewat teknologi iklan, rasa ingin tahu manusia dimanfaatakan oleh golongan capital atau pemodal. Para pemodal itu menggunakan konsep simulasi dalam penyuguhan produknya. Masyarakat cenderung kurang kritis dalam hal ini. Masyarakat tidak pernah mencari hiperealitas dari sebuah kenyataan atas teknologi. Oleh karena itu, masyarakat lebih mudah terbawa pola konsumtif yang akut. Terus-menerus diberi pilihan produk-produk baru-yang nilai dan kualitasnya belum tentu sesuai penayangan di iklan. Para pemilik modal membungkus rapi produknya lewat teknologi iklan. Sedangkan masyarakat lebih berpikiran bahwa yang demikian itu memang sudah sewajarnya. Tetapi, tidak. Dalam teknologi iklan, makna dari objek itu sendiri sudah hilang. Yang disuguhkan dalam iklan merupakan makna tidak sebenarnya atau dalam hal ini disebut simulasi. Konsep simulasi ini sudah terbukti efektif dalam menggaet para konsumen untuk lebih aktif dalam membeli objek yang disodorkan.
Jadi, makalah ini akan memberikan pemahaman mengenai konsep simulasi-hiperealitas dalam teknologi iklan serta hubungan yang terjadi antara teknologi dan konsumen.

B.     Rumusan Masalah

Sehubungan dengan hal di atas, dapat ditarik sebuah rumusan masalah Bagaimana pergerakan konsumtif dan teknologi dalam masyarakat modern?

C.    Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang di atas, tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui konsep konsumtif masyarakat di dalam kehidupan modern dan juga mengetahui peran teknologi dalam mempengaruhi pergerakan konsumtif.

D.    Manfaat

Manfaat dari makalah ini antara lain pertama dapat memberikan wawasan pada para pembaca mengenai peran teknologi dalam pergerakan konsumtif; kedua, dapat memberikan wawasan mengenai fenomena masyarakat dalam ranah perilaku konsumtifnya.




BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Pola Konsumtif Baudrillard

Baudrillard dalam The System of Object (1998; 1996) mengemukakan bahawa satu objek untuk menjadi obejk konsumsi terlebih dulu objek harus menjadi  (dilihat) sebagai tanda. Jadi, memahami makna konsumsi adalah memahami obejk sebagai serangkaian tanda-tanda. Atas alasan inilah makanaya dikatakan metode semiotika dinyatakan tepat dan berguna untuk menganalisis objek-objek konsumsi sebagai tanda-tanda. Ketika objek konsumsi dipelajari sebagai tanda, maka objek tidak lagi memiliki makana intrinsic yang membuatnya bermakna, karena objek dapat menghasilkan pesan-pesan sosial yang berbeda. Makna objek yang satu dapat berbeda dengan makna objek lain, dan ini diperoleh  melalui sistem objek (tanda-tanda) sebagai keseluruhan (Baudrillard, 1968; 1996).
Barang-barang konsumsi merupakan sistem kode (tanda) yang bekerja sama, sehingga tidak ada obejk-objek khusus yang dipahami di luar sistemnya. Satu objek baru mulai  menjadi obejk konsumsi jikalau tidak lagi ditentukan oleh tiga hal berikut:
1.      Tempat objek di dalam siklus produksi.
2.      Kegunaan fungsional objek.
3.      Makna simbolis objek.

Jika prinsip ini terjadi maka objek dibebaskan sebagai tanda untuk ditangkap oleh logika fashion formal (Baudrillard, 1981: 67).
Dalam bukunya Symbolik Exchange and Death, Baudrillard mengemukakan konsep “kode” yang dilihatnya begitu penting dalam suasana modern akhir. Konsep kode ini jelas berkaitan dengan munculnya era computer (komputerisasi) dan digitalisasi. Menurutnya kode cukup mendasar dalam berbagai ilmu seperti fisika, biologi, dan ilmu pengetahuan alam lainnya (kode biner dalam teknologi computer, kode DNA dalam biologi, kode digital pada televise dan dunia rekaman dank ode dalam tekonologi informasi), di mana ia memberi kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek situasi; karena itu kode bisa mem-bypass sesuatu yang real dan membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebutnya dengan “hipperealitas”.

B.     Manipulasi Tanda

Praktik penataan tanda mengarahkan konsumsi akan gambar, fakta, dan informasi. Konsumsi ini menyamakan yang  rill dalam tanda-tanda perubahan (Baudrillard, 1970: 30). Kita mengonsumsi yang riil melalui antisipasi atau dalam jarak, yaitu dalam tanda.
Hubungan konsumen dengan dunia nyata bukan hubungan kepentingan, investasi dan tanggung jawab, namun hubungan keingintahuan. Maka sebetulnya orang tidak bisa begitu saja menyalahkan penayangan iklan. Bila diamati dengan jeli, bukan karena rekayasa pembuat iklan bahwa orang tergiur untuk membeli atau mengonsumsi, tetapi pertama-tama karena keingintahuan pembaca, pendengar atau pemirsa. Akibatnya, keingintahuan ini seperti bentuk disposisi yang siap menangkap apa pun yang lewat di depannya. Oleh karena itu, orang yang paling mudah termakan oleh gossip atau rumor adalah justru mereka yang selalu ingin tahu dan ingin segera menikmati.

C.    Teknologi dalam Postmodern

Konsem utama Baudrillad dalam kajian kebudayaan postmodern didasarkan pada beberapa asumsi hubungan antara manusia dengan media, yang sebelumnya pertama-tama dibicarakan oleh Marshall McLuhan. Baudrillard mengatakan media massa menyimbolkan zaman baru di mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberi jalan bagi semesta komunikasi yang baru (Madan Sarup, 2003). Membicarakan ‘media’ berarti melibatkan kata ‘massa’, dan memang media massa memiliki fungsi penting dalam perjalanan kebudayaan postmodern. Media telah menginvasi ruang publik dan privat, dan mengaburkan batas-batasnya, dan pada akhirnya media menjadi ukuran baru moral masyarakat mengantikan institusi tradisional semisal agama. Fungsi media dalam kerangka kapitalisme lanjut adalah membentuk institusi-institusi baru masyarakat yang disebut budaya massa dan budaya populer. Tujuan utama pembentukan budaya massa tentu saja untuk memperoleh keuntungan yang besar melalui penciptaan produk-produk budaya massa untuk dikonsumsi secara massal pula. Secara umum kajian Baudrillard membentuk satu kesatuan yang utuh dan sulit dipisahkan. Konsep-konsep dasar yang dielaborasinya bertaut, mulai dari masalah konsumsi, simulasi, tanda, hiperrealitas, sampai objek-objek kajian yang biasanya tidak diperhitungkan dalam kajian sosiologis seperti berahi, tubuh, fashion, televisi, film, seni dan iklan. Dengan demikian sebenarnya Baudrillard telah memulai babakan baru dalam study sosiologi dewasa ini.

BAB III
PEMBAHASAN


Dalam Lubis (2014: 180), Baudrillard mengemukakan bahwa kita sekarang ini hidup dalam satu era yang ia sebut “era Simulai” atau zaman di mana keaslian dan dunia cultural yang cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan antara yang real dengan yang imajiner, yang “nyata” dengan yang  “palsu”. Dalam media iklan, hal itu berkembang secara intens. Melalui media iklan pula, masyarakat didikte oleh obyek atau barang-barang. Kebutuhan bukan lagi sebuah konsep lahiriah yang harus dipenuhi, tetapi sudah berubah menjadi hasrat untuk mengonsumsi, dan juga pengaruh dari kalangan kelas dan kelompok social. Orang lebih cenderung membeli barang karena atas dasar keinginan daripada kebutuhan. Keinginan tersebut sebenarnya didasari oleh hal yang lebih dasar lagi, yakni keingintahuan. Haryatmoko (2016: 66) menyatakan,hubungan konsumen dengan dunia nyata bukan hubungan kepentingan, investasi dan tanggung jawab, namun hubungan keingintahuan. Perasaan ingin tahu itulah yang menggerakan manusia untuk berkonsumtif, dan melalui media iklan, obyek keingintahuan itu disebar (dalam bentuk wacana) dan dimanfaatkan (dalam bentuk tujuan).
Konsep kekinian yang sedang berlangsung di kalangan masyarakat saat ini sebenarnya hanyalah dunia konsumtif yang semu. Masyarakat disuguhi oleh hal-hal yang tidak memiliki landasan yang realis. Sangat sulit untuk membedakannnya, antara realitas atau fantasi. Semua obyek dikemas, dipoles sedemikian rupa dalam media iklan hanya untuk tujuan konsumtif yang berkelanjutan dan dinamis. Di dalam iklan, segala hal dikemas menjadi sebuah pencitraan yang majemuk dan tujuan yang tunggal.
Dalam KBBI, kata “citra” memiliki arti rupa; gambar; gambaran; atau gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Dalam budaya konsumtif kekinian, citra inilah yang menjadi peluru dalam mensosialisasikan obyek dalam bentuk wacana. Hal semacam itu terangkum dalam simulasi dan simulacra. Sedangkan, Simulasi berlawanan dengan representasi itu sendiri, seperti terlihat dari empat tahap pencitraan menurut Baudrillard (1981: 17).
Pertama, representasi: citra merupakan cermin suatu realitas yang dalam; kedua, citra menyembunyikan dan memalsukan suatu realitas yang dalam. Seperti cara kerja ideologi ketika citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas. Lalu citra bermain menjadi penampakannya. Gambar surealis dalam kanvas di sebelah pintu justru menutupi pemandangan yang ada di luar pintu. Lukisan itu berperan sebagai pnampakkannya sehingga menomorduakan realitas. Tahap ini mirip dengan permainan sihir; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun: ia hanya menyerupai dirinya. Lukisan abstrak tidak m emiliki acuan sama sekali dengan realitas mana pun. Jadi citra bukan lagi tatanan penampakan, tetapi simulasi atau tatanan hiperreal.
Keempat tahap tersebut menjelaskan bahwa iklan atas produk tidak dapat dinyataakan sebuah pengaplikasian atas realitas produk itu sendiri. Melainkan hanyalah sebuah bentuk tujuan yang terselubung. Para konsumen sedang dimanipulasi. Tetapi, kebanyakan orang akan tertarik dan masuk dalam dunia Hipperreal (semu) itu dengan mudah hanya karena rasa ingin tahu atas simulasi yang sengaja dibuat sedemikian rupa. Haryatmoko (2016: 66) menyatakan, bukan karena rekayasa pembuat iklan bahwa orang tergiur untuk membeli atau mengonsumsi, tetapi pertama-tama karena keingintahuan pembaca, pendengar atau pemirsa. Akibatnya, keingintahuan ini seperti bentuk disposisi yang siap menangkap apa pun yang lewat di depannya. Oleh karena itu, orang yang paling mudah termakan oleh gosip atau rumor adalah justru mereka yang selalu ingin tahu dan ingin segera menikmati. Dalam lingkup pembahasan ini, rasa ingin tahu seseorang benar-benar telah dijadikan sebuah objek atau sasaran dalam perluasan budaya konsumtif. Suatu contoh, ada dua kafe dengan konsep wacana iklan berbeda tetapi dengan produk yang dijual sama. Konsep tersebut dikemas oleh iklan semenarik mungkin (dramatisir), seefektif mungkin dalam kajian wacananya. Dua konsep yang sejatinya sama ini, menjadi berbeda dan terkesan ada kesenjangan di antara keduanya hanya karena adanya pemberian wacana dalam pengemasannya. Hal itu ternyata cukup memberikan perbedaan jumlah pengunjung terhadap dua kafe tersebut: ramai dan sepi, bahkan pelanggan dari kafe yang sepi berpindah ke kafe yang ramai dengan mudahnya. Setelah dicaritahu alasan berpindah tempat, kebanyakan orang akan menjawab: sudah bosan, butuh hal yang baru. Jawaban semacam itu cukup memberikan bukti bahwa rasa ingin tahu yang mendorong seseorang untuk bergerak (konsep modern). Selain daripada itu, kasus tersebut juga menunjukkan bahwa rasa ingin tahu seseorang terhadap hal barulah yang mendasari pola konsumtifnya (kekinian).
Simulasi iklan menarik rasa ingin tahu, meleburkannya di antara realitas dan fantasi. Lalu, hipperealitas yang membuat segalanya terasa real. Dan, hal semacam itu sudah mewabah atau menjangkiti pola pikir masyarakat kekinian. Hingga berakhir menjadi sebuah candu dan kebutuhan.
Keingintahuan akan sesuatu menyebabkan seseorang akan mendekati, mengamati ataupun mempelajari akan sesuatu benda ataupun sesuatu hal lainnya. Hal ini yang menjadi obyek atas kekuasaan periode kekinian ini. Sikap naluri ilmiah manusia dimanfaatkan betul oleh golongan pemodal untuk memperluas jangkauan kekuasaannya. Manusia sudah menjadi objek atas kepentingan manusia itu sendiri. Proses yang membuat subyek menjadi obyek mengakibatkan cara baru dalam mengatur dan mengorganisir lingkup sosial (Haryatmoko, 2016: 19).
Kekuasaan yang terjadi pada diri konsumen berlangsung tanpa kesadaran yang jelas. Sebab, konsep simulacra-simulasi-hipperalitas ini bersembunyi dalam tubuh ilmu pengetahuan (teknologi-iklan). Orang pada umumnya beranggapan bahwa teknologi merupakan bentuk dari sebuah perkembangan peradaban. Tetapi pandangan tersebut bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam budaya konsumtif. Dengan ilmu teknologi (iklan) tersebut orang belajar mengetahui manusia agar dapat lebih baik menguasainya. Dengan kata lain, tujuan-tujuan ilmu-ilmu pengetahuan tidak lain adalah kekuasaan. Para pemodal benar-benar memanfaatkan ilmu pengetahuan (teknologi) dalam memuluskan usaha perluasaan kekuasaannya, dan manusia tidak sadar akan hal itu. Semua diramu dan dikemas dalam bentuk iklan dengan balutan wacana. 

BAB IV
SIMPULAN

Budaya konsumtif dalam periode kekinian ini merupakan budaya yang memang sudah terstruktur dengan rapi dan berpola. Kita sebagai generasi termutakhir tidak bisa lepas dan menyangkal adanya periode postmodern, dan juga dari dominasi kekuasaan-pengetahuan serta tujuan-tujuan terselubung. Mengutip kata dari pujangga jawa Ranggawarsito “Jaman edan, mung gak melu edan bakal ora kebaduman”, sudah cukup mengindikasikan bahwa budaya konsumtif adalah sebuah bentuk budaya yang berjalan dengan ritme keikutsertaan dan keingintahuan. Dua ritme itulah yang menjadi ladang dan surga bagi para pemilik modal untuk mengembangkan kekuasaannya dengan teknologi.

DAFTAR PUSTAKA


Baudrillard, Jean. 2015. Lupakan Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Bertenz, K. 2013. Filsafat Barat Kontemporer (Perancis). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Endraswara, Suwardi. 2016. Metodologi Penelitian Postmodern Sastra (Penafsiran, Pengejaran, dan Permainan Makna). Yogyakarta: CAPS.
Foucault, Michael. 2012. Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta: IRCiSod
Foucault, Michael. 2016. Disiplin Tubuh (Bengkel Individu Modern). Yogyakarta: LKiS
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: Kanisius.
Lash, Scott. 2016. Sosiologi Postmodern.Yogyakarta: Pustaka Filsafat.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
Nietsche, Friedrich. 2015. Zarathustra. Yogyakarta: Narasi.
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”