Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”
Shoim
Anwar ialah salah satu cerpenis yang dimiliki Indonesia. Karya-karyanya sering
dimuat di koran mingguan Jawa Pos. Termasuk cerpen terbarunya yang berjudul “Sorot
Mata Syaila” dimuat koran mingguan Jawa Pos 14 Januari 2018. Cerpen itu berlatar
dini hari di sebuah bandara Internasional Abu Dhabi. Dalam cerpen itu, penulis
mengangkat konsep surealis. Hal itu terlihat dari akhir kisah itu yang dibuat
tertutup dan penuh tanya. Secara lebih rinci, cerpen itu mengisahkan seorang
perempuan bernama Syaila yang bertemu dengan seorang terdakwa. Penulis membuat
suasana yang sangat mesrah saat adegan pertemuan tersebut. Dalam suasana mesrah
itulah penulis menyuguhkan suatu bentuk kritik sosial. Kritik sosial tersebut
diangkat dari problem perkara yang begitu heboh. Hal itu jelas terlihat dari
pernyataan “termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil
untuk diperiksa penyidik”. Selain itu, pernyataan lain yang menunjukkan hal
serupa terlihat pada kutipan di bawah ini.
“Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah
Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku
toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku
buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di
tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya
cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit
kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah.
Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada”
Dari
pernyataan tersebut jelas terlihat adanya kritik sosial atas kasus mega korupsi
E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto (ketua DPR). Kasus tersebut memang sempat
menggegerkan publik dengan tingkah laku konyolnya saat diperiksa. Mungkin hal
itu yang membuat penulis ingin menuangkan kejengkelannya.
Bila
dicermati lebih dalam lagi, konsep cerita cerpen ini sebenarnya dapat dikatakan
sebagai bentuk alih wahana dari sebuah puisi karya penulis itu sendiri yang
berjudul “Di Bandara Internasional Abu Dhabi”. Banyak hal-hal yang sangat mirip
dari kedua karya tersebut. mulai dari setting, suasana, dan alur cerita. Hal itu
dapat dilihat dari penggalan bait pada puisi tersebut.
di bandara internasonal abu dhabi
saat buka seluler kau tersenyum sendiri
temanmu pura-pura sakit jantung dan merintih
saat mau diperiksa komisi anti korupsi
lari ke rumah sakit bertarif mahal sekali
minta diselimuti kain putih empuk begini
diinfus agar kayak orang yang mau mati
membayar pengacara bicara tak henti-henti
dan minta cepat pulang saat dibebaskan nanti
saat buka seluler kau tersenyum sendiri
temanmu pura-pura sakit jantung dan merintih
saat mau diperiksa komisi anti korupsi
lari ke rumah sakit bertarif mahal sekali
minta diselimuti kain putih empuk begini
diinfus agar kayak orang yang mau mati
membayar pengacara bicara tak henti-henti
dan minta cepat pulang saat dibebaskan nanti
Bait
puisi di atas sebenarnya sangat erat kaitannya dengan konsep kritik sosial yang
diangkat penulis ke dalam cerpennya “Sorot Mata Syaila”.
Keterkaitan
tersebut sebenarnya merupakan sebuah bentuk interteks, hanya saja dalam hal ini
dilingkup alih wahana. Menurut Sapardi Djoko Darmono, alih wahana adalah proses
pengalihan dari satu jenis ‘kendaraan’ ke jenis ‘kendaraan’ lain. Wahana,
diartikan juga sebagai medium yang dipergunakan untuk mengungkapkan, mencapai,
atau memamerkan gagasan atau perasaan.
Secara
garis besar, setidaknya ada dua konsep yang dicakup oleh istilah itu: pertama,
wahana adalah medium yang dimanfaatkan atau dipergunakan untuk mengungkapkan
sesuatu; kedua, wahana adalah alat untuk membawa atau memindahkan sesuatu dari
satu tempat ke tempat lain. ‘Sesuatu’ yang bisa dialih-alihkan itu bisa
berwujud gagasan, amanat, perasaan, atau ‘sekadar’ suasana. Pernyataan pertama,
dapat dijadikan landasan teori atas kritik karya ini.
Berdasarkan
pengertian di atas, puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” dapat dikatakan
telah beralih wahana ke dalam bentuk karya sastra lainnya, yaitu cerpen “Sorot
Mata Syaila”. Sedikit banyak persamaan dan perbedaan cerita dalam dua karya
tersebut sudah cukup menjadi tolok ukur atas pengalihwahanaan suatu karya. Belum
lagi, adanya pengubahan, penambahan, serta perluasan ide, gagasan, amanat,
perasaan, dan suasana yang terjadi jelas membuktikan bahwa cerpen “Sorot Mata
Syaila” ialah bentuk alih wahana dari puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi”.
Komentar
Posting Komentar