Patriarki Dalam Lagu “Bojo Galak” Via Vallen

 
Lagu “Bojo Galak” merupakan lagu beraliran dangdut elektrik yang pernah viral. Lagu yang dibawakan oleh Via Vallen ini dilihat hampir 55juta kali. Lagu yang berlirik bahasa jawa ini sontak menjadi lagu umum yang begitu popular. Belum lagi, penyanyi lagu ini merupakan artis cantik yang sedang naik daun.

Bojo Galak merupakan lagu yang menceritakan ketertindasan seorang perempuan. Ketertindasan tersebut terjadi setelah adanya suatu pernikahan. Ada sebuah dominasi sikap yang ditunjukkan oleh laki-laki (suami). Ketertindasan tersebut berupa sikap. Hal itu dapat dilihat pada penggalan lirik di awal lagu.

Wis nasibe kudu koyo ngene
Nduwe bojo kok ra tau ngepenake
Seneng muring, omongane sengak
Kudu tak trimo, bojoku pancen galak

Saben dino rasane ora karuan
Ngerasake bojoku sing ra tahu perhatian
Nanging piye maneh atiku wes kadung tresno
Senajan batinku ngampet ono njero dodo

Penggalan lirik di atas menunjukan ketidakberdayaan seorang perempuan. Perempuan tidak memunyai kuasa dan upaya untuk melakukan perlawanan. Saat hal itu terjadi, patriarki menemukan tempatnya berlabuh. Sebab, perempuan dalam hal ini menikmati ketertindasannya.
Sungguh aneh rasanya bila dicermati lebih dalam. Pernikahan yang digadang-gadang menjadi tempat berlabuhnya suatu kebahagiaan , justru menjadi sarang atas ketakberdayaan. Setelah melakukan ijab kabul, sepenuhnya hak istri menjadi tanggung jawab suami. Hal ini menimbulkan pro-kontra. Tetapi, konsep semacam itu justru yang menjadi dasar cerita lagu “Bojo Galak”.
Ketidakberdayaan seorang perempuan juga dapat dilihat pada lirik-lirik berikutnya.

Yowes ben nduwe bojo sing galak
Yowes ben sing omongane sengak
Seneng nggawe aku susah
Nanging aku wegah pisah

Tak tompo nganggo tulus ning ati
Tak trimo sliramu tekan saiki
Mungkin wes dadi johohne
Senajan kahanane koyo ngene

Bila dicermati, kutipan di atas sangat menunjukkan ketidakberdayaan perempuan setelah menjalani pernikahan. Perempuan tidak bisa menuntut terlalu banyak dan bahkan perempuan dipaksa untuk tetap dan terus menerima keadaannya.
Selain ketakberdayaan, penindasan jelas terlihat dalam lagu ini. Hal itu dapat dilihat pada kutipan lirik di bawah ini.

Sungguh keterlaluan bojoku sing saiki
Kliru sitik wae aku mesti diseneni
Ameh dolan ro konco kok ora diolehke
Senengane nuduh dikiro lungo ro liyane.

Penggalan lirik di atas, memiliki koheren dengan lirik lagu sebelumnya. Hal itu semakin menunjukkan adanya patriarki setelah pernikahan. Jadi, dalam hal ini pernikahan menjadi sebuah gerbang atas berlangsungnya suatu bentuk patriarki. Lagu ini menyiratkan hal itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”