Kitab Suci itu Fiksi


Isu SARA di Indonesia kembali hangat setelah ada pernyataan bahwa “kitab suci itu fiksi”. Warga Negara Indonesia seakan gampang kebakaran jenggot bila mendengar isu-isu yang demikian.
         Hal itu terlihat dari adanya seorang pelapor kasus penistaan agama atas penyataan Rocky Gerung. Pernyataan dosen Filsafat Universitas Indonesia tersebut dinilai menyinggung suatu keyakinan agama. Padahal jelas bahwa Rocky Gerung menggunakan pernyataan umum, bukan pernyataan khusus terhadap agama tertentu. Dalam komentarnya di acara televisi nasional, Rocky Gerung menyatakan, “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, maka kitab suci itu adalah fiksi”. Sontak komentar tersebut membuat heboh. Banyak yang mempertanyakan kedalaman maksud hal itu. Negara ini yang sedang goyah masalah ideologi dan keyakinan dengan gampangnya termakan sebuah statement, yang sebenarnya wajar-wajar saja. Bila pernyataan tersebut ditelaah lebih dalam, sebenarnya maksudnya sangat sederhana. Tidak terlihat ada unsur penistaan terhadap suatu agama tertentu. Pada awal komentarnya, Rocky Gerung sudah membatasi definisi atas kata “fiksi” itu sendiri. Jadi, tidak bisa rasanya jika pemaknaan “fiksi” dalam hal ini disesuaikan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti rekaan atau khayalan. Definisi fiksi yang seharusnya dipakai dalam kasus ini ialah pernyataan Bung Rocky itu sendiri.
Dalam ilmu bahasa mutakhir, ada istilah yang popular di dunia filsafat, yakni Dekonstruksi. Dalam ruang lingkup kajian tersebut, dekonstruksi ialah seni dalam membongkar dan membangun kembali suatu teks. Tujuannya ialah agar terbentuknya suatu metafor, atau makna baru dari teks itu sendiri. Rocky Gerung sedang melakukan itu.
Bila dicermati lebih dalam, pernyataan bahwa “kitab suci itu fiksi” sebenarnya ialah bentuk atau hasil dari dekonstruksi itu sendiri. Bagaimana Bung Rocky berusaha menyimpulkan atau memberi sebuah bentuk makna baru. Dia melakukan pembaharuan makna, mengingat makna “fiksi” itu sendiri sedang mengalami peyorasi (perubahan makna menjadi lebih buruk, kasar atau kedudukannya lebih rendah dari makna kata yang sebelumnya). Padahal, hakikat makna fiksi itu sendiri sangatlah baik. Perubahan makna itulah yang coba dihentikan oleh Bung Rocky. Sebab menurutnya, fiksi itu ialah suatu hal yang baik, yang buruk itu ialah fiktif. Fiksi lawannya bukan fakta, melainkan realitas. Karena ulah politisilah, makna fiksi mengalamai peyorasi yang mewabah. Hal itu jelas terlihat dalam lanjutan pernyataannya, bahwa fiksi ialah energi postif yang mengaktifkan imajinasi. Berdasarkan hal itu, jelas terlihat adanya batasan analisis dari pengertian fiksi itu sendiri. Kurang tepat bila fiksi dalam hal ini diartikan sesuai dengan KBBI. Atas dasar perbedaan ruang lingkup definisi inilah pernyataan “kitab suci itu fiksi” menjadi heboh dan masyarakat terprovokasi. 
Tidak perlu rasanya bila harus melaporkan hal ini ke kepolisian atau membesar-besarkannya dengan cara lain. Sebab, hal itu menunjukkan bahwa pola pikir masyarakat sangatlah sempit, lebih mudah tersulut oleh hal-hal yang sifatnya dangkal. Kurangnya literasi dalam pemahaman membuat hal-hal semacam ini menjadi sangat riskan. Bangsa ini sedang menuju ke arah yang lebih baik, sungguh sangat disayangkan bila dihambat oleh hal-hal yang demikian. Seharusnya masyarakat lebih menurunkan ego keyakinannya dalam hal ini. Sebab, bagaimanapun, Rocky Gerung hanya berusaha meluruskan sebuah makna kata yang sedang goyah. Kata tersebut ialah “fiksi”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”