Pembunuhan Karakter Tokoh dalam Novel Aroma Karsa
Novel Aroma Karsa
adalah buah kreatifitas terbaru dari penulis Dewi Lestari atau biasa akrab
dipanggil Dee Lestari. Penulis serial Supernova ini kembali menghadirkan karya
fiksi yang imajinatif. Aroma Karsa
ialah buku Dee yang ke-12. Dengan terlebih dahulu melansir versi digitalnya, novel
yang berlatar tiga tempat (Bantaran Gebang, Paris, dan Gunung Lawu) ini
berhasil membangkitkan kembali demam cerita bersambung pada era milenial ini.
Novel yang terdiri hampir 700halaman dan 61Bab ini secara
cerita dan gaya bahasa sangat mengalir. Dalam Aroma Karsa, Dee benar-benar menunjukkan kualitas imajinasinya yang
mengalun. Hal itu membuat para pembaca tidak bisa tidur, terus terngiang di
sela bab-babnya. Saya sendiri membutuhkan waktu kurang dari seminggu untuk
menghabiskan imajinasi-imajinasi Aroma
Karsa.
Buku terbitan Bentang Pustaka ini semakin mentasbihkan Dee
Lestari sebagai fiksioner sejati. Walaupun karya sastra itu bersifat mimesis
atau tiruan atas kenyataan, novel ini menurut saya tetap saja sebuah fiktif. Tidak
terlihat adanya suatu potret realitas dalam konsep ceritanya selain setting dan
latar cerita itu sendiri. Keangkeran, kerahasiaan, misteri, dan kesakralan
gunung lawu coba penulis kemas menjadi sebuah bentuk fiksi.
Saat menyelami Aroma
Karsa, pembaca akan disuguhkan oleh jenis-jenis karakter yang sangat kat
dan unik. Dee Lestari berhasil memperlihatkan itu. Selain hal itu, saat membaca
Aroma Karsa, pembaca juga akan
dibanjiri oleh diksi-diksi aroma yang khas. Kedetailan memilih diksi untuk
mewakili suatu aroma, benar-benar penulis persiapkan dengan matang. Hal itu
memperlihatkan bahwa Dee Lestari benar-benar telah melakukan riset atas
karyanya tersebut. Penggemar parfume
bila membaca Aroma Karsa akan merasa berada pada olfaktorium. Hal itu sangat memungkinkan. Sebab, Dee Lestari
benar-benar menyajikan informasi wewangian kelas dunia.
Meskipun saya katakan di atas bahwa Dee Lestari berhasil
menyuguhkan karakter yang kuat dan unik, tetapi dalam beberapa alasan hal itu
sangat saya kritisi. Bila ditelaah berdasarkan struktur alur cerita (pengenalan,
konflik, klimaks, anti-klimaks, dan penyelesaian) Aroma Karsa memenuhinya
dengan baik. Tetapi bila ditelaah lebih dalam dari segi karakter tokoh dan
konflik mulai awal sampai akhir, Aroma Karsa saya nyatakan gagal.
Dalam 350 halaman pertama, penulis benar-benar menyuguhkan
fiksi yang berkualitas. Dalam rentan halaman tersebut, konflik sudah terasa
kuat dan mengalir. Terdapat hampir 4 sampai 5 tokoh yang terus berputar membuat
konflik, dan itu sangat menarik untuk dibaca. Tetapi, menurut saya,
permasalahan yang fatal dari Aroma Karsa justru terletak pada konsep cerita
selepas halaman 350 ke atas. Selepas halaman tersebut, Dee Lestari mengubah
karakter yang berpotensi sangat kuat menciptakan konflik yang lebih kuat. Pengubahan
karakter terjadi sangat drastis dan
cenderung cepat. Terjadi hanya dalam kurang lebih 20halaman penceritaan. Pengubahan
tersebut terjadi pada tokoh Suma dan Arya. Padahal, untuk mencipatkan konflik
yang berkualitas dengan klimaks yang greget, harus ada karakter yang sangat
bersebarangan (idealis). Hal itu tidak terlihat sama sekali selepas halaman
350.
Pembunuhan Karakter |
Pada awalnya, dua tokoh itu (Arya dan Suma) diceritakan
menjalin sebuah hubungan yang lebih intim. Tetapi, selepas halaman 350,
seketika konsep cerita itu hilang tanpa suatu proses yang menarik. Suma yang
dari awal menjadi pihak penentang, menjadi pendukung. Sedangkan, Arya yang dari
awal menjadi pihak ketiga, langsung dibuat hilang begitu saja (tidak berperan).
Hal itu membuat jalan cerita Aroma Karsa
tidak lagi menarik dari segi karakter. Sebab, karakter Suma dan Arya bila
ditelaah lebih dalam dapat dimanfaatkan untuk menguatkan jalan cerita. Bukan tanpa
alasan, sebab konsep utama cerita ini selain menyuguhkan fenomena aroma ialah
jalinan asmara itu sendiri. “Asmara tidak
dapat dipahami, hanya dapat dirasakan akibatnya”, kalimat itu dinyatakan
Dee dalam beberapa plot ceritanya. Jadi, suatu kesalahan fatal bila Dee Lestari
mengubah karakter tokoh Arya dan Suma yang berpeluang besar melukiskan makna
kalimat itu sendiri..
Selain pengubahan karakter, juga terdapat penghilangan tokoh secara
tiba-tiba. Tokoh tersebut tidak lain adalah Arya. Pada halaman-halaman tengah, seketika
tokoh Arya dibuat “mati” atau hilang. Entah hal itu memang sudah direncakanan
penulis atau dapat masukan dari editor, tetapi hal itulah yang membuat cerita
asmara Aroma Karsa menjadi monoton (mudah ditebak). Karena hilangnya tokoh Arya
akan berdampak pada jalinan asmara yang ada. Konsep asmara yang coba dibangun
penulis dalam cerita akan luntur. Mungkin dua kesalahan tersebut (penghilangan
tokoh dan pengubahan karakter) dapat diterima bila Dee Lestari memang
menginginkan hanya mengekspos misteri mengenai Gunung Lawu dan “Puspa Karsa”
itu sendiri. Sebab, bagaimana pun penulis yang lebih berhak menentukan jalan
cerita atas rekaannya.
Daftar Pustaka
Emzir
dan Rohman, Saifur. 2016.Teori dan
Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.
Lestari, Dee. 2018. Aroma Karsa. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
sependapat, ibu Dee seakan memang sengaja menghilangkan beberapa aspek penting di tengah-tengah seperti ingin meninggalkan pesan bahwa akan ada sequel dari Aroma Karsa, atau bisa juga karena takut novel ini bisa lebih dari 1000 halaman jika semua dimasak sampai matang terutama arus bagian dwarapala begitu cepat yang sangat disayangkan.
BalasHapuskalo saya sih berharap yang terjadi adalah yang pertama
Terimakasih, semoga Dee terus berkarya
BalasHapus