Kuda Lope


Aku masih ingin sendiri menikmati rembulan dari tepi kolam lele.
Perempuan itu meratap genangan air yang tenang. Di depan rumah bertingkat tempat ia tinggal, ada sepetak tanah yang berupa kolam lele. Jika malam datang dan tidak hujan, saat bintang sedang mesrah-mesrahnya berdialog dengan bulan, perempuan itu melamun.
Aku ingin sendiri beberapa waktu sampai nanti.
Pandangan perempuan itu kosong, sesekali ia akan tersenyum saat melihat rona wajahnya di genangan air kolam itu. Senyumnya sangat manis. Pernah suatu ketika, saat itu malam benar-benar cerah sebelum tiba-tiba menjadi mendung. Kata orang yang menyaksikannya waktu itu, perempuan itu sedang menguntaikan senyumnya sehingga para gemintang cemburu. Efek senyum itu sungguh dahsyat, kata salah seorang lagi. Manis, tanpa pemanis buatan. Kalau saja bidadari itu benar adanya, perempuan itu sosok yang nyaris mendekatinya.
Seharian cuaca sangat mendung tetapi tak kunjung hujan. Banyak orang beranggapan perempuan itu sedang sedih, alam merasakan suasana hatinya.
Saat senja akan habis, seorang lelaki biasanya akan datang membawa roti. Mereka berteman sejak si lelaki tahu kedahsyatan suasana kolam lele itu 4 tahun yang lalu. Perempuan sangat senang ada seseorang lelaki yang kini menemaninya berdialog dengan sunyi. sesekali membicarakan tentang rindu yang begitu lekat.
“Kamu terlihat lelah,” katanya. Lelaki itu menoleh. Memandang perempuan itu.
Lelaki itu memang lelah, ia duduk di samping perempuan itu. Pandangannya kosong. Perempuan itu tahu betul, mereka sering mengobrol bersama dan lele di kolam itu menjadi saksi curahan perasaan keduanya.
“Malam yang indah, bukan? akan aku ceritakan hal-hal yang indah kecuali perpisahan. Aku berharap lelahmu akan hilang,” terang perempuan itu.
Lelaki itu hanya diam. Ia memilih untuk menunduk ketimbang menatap wajah perempuan itu. Hari ini lelaki itu benar-benar terlihat sedih. Wajahnya terlihat pucat, sesekali tangannya gemetar. Ada ketakutan dalam raut wajahnya.
“Kamu kenapa? Tidak suka jika aku bercerita?”
Lelaki itu menggeleng. “Aku hanya sudah lelah saja. Ceritanya besok saja. Hari ini aku lelah.”
“Tempat ini merupakan tempat paling sunyi. Aku tahu kamu menggeleng, tetapi aku juga dapat mendengar degup jantungmu yang memburu. Aku dapat merasakannya. Aku mendengar organ berdenyut itu memompa darahmu,” terang perempuan itu. “Jantungmu sakit,” imbuhnya.
Lelaki itu masih diam. Mencoba mencerna segalanya.
“Baiklah kalau begitu. Aku juga akan diam. Biarkan lele-lele itu yang mendengar keadaanmu.”
Lelaki itu lalu memandang perempuan di sebelahnya. Seketika perempuan itu yang tersipu malu. Lelaki itu pun tersenyum. “Aku percaya bahwa senyum termanis manusia ialah saat dirinya tersipu malu. Sekarang aku melihat hal itu.”
Mendengar hal itu, kini perempuan itu langsung diam. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Dari dulu aku ingin tahu siapa namamu,” kata lelaki itu tiba-tiba.
Sontak, perempuan itu sedikit kaget. Perempuan itu tahu, itu bukan pertanyaan yang pertama sejak mereka bertemu 4tahun yang lalu. Perempuan itu tidak pernah memberitahu siapa namanya. Selama ini mereka hanya menggunakan panggilan aku dan kamu. Saat ditanya perihal namanya, perempuan itu selalu menghindar, mengganti bahan obrolan dengan hal lain. Bagi si lelaki, hal itu tidak bermasalah sama sekali. Hanya saja, kali ini rasa penasarannya kembali hadir. Entah mengapa, yang ingin dia dengar hari ini hanya nama perempuan itu.
Perempuan itu memandang si lelaki. Kini mereka adu pandang.  Ada bayangan perempuan itu di bola mata lelaki, dan ada bayangan lelaki itu di bola mata perempuan. Mereka saling mengirim pesan lewat sorot mata masing-masing sebelum si lelaki yang lebih dahulu menundukan pandangan.
“Kita ini aneh,” kata perempuan itu. “Kita sudah saling mengenal dan mengobrol selama 4tahun, tetapi kita tidak pernah tahu nama kita, dan juga perasaan kita.” Perempuan itu tertawa kecil.
Lelaki itu tahu, pertanyaannya akan menggantung, sama seperti yang sudah-sudah. Jadi, lelaki itu ikutan tertawa kecil.
“Sudah aku katakan padamu berulang-ulang, aku tidak memunyai nama. Aku tidak bohong mengenai itu,” kata perempuan itu.
“Iya, maaf. Aku salah. Entah mengapa hari ini aku ingin tahu itu. Hanya itu saja.”
Perempuan itu memandang kolam lele itu. Ada bayangan mereka berdua sedang berdekatan. Begitu mesrah dan nyaman. Hanya jarak pertemanan yang memisahkan mereka. Lelaki itu menunduk lesu. Itu terlihat dari bayangannya di atas kolam.
“Kamu benar-benar terlihat lelah.”
“Entahlah.”
“Kamu serius ingin mengetahui namaku?”
“Entahlah.”
“Banyak orang memanggilku Ay,” kata perempuan itu. “Jika kamu butuh sebuah nama atas diriku, kamu bisa memanggilku seperti orang-orang.”
“Sesingkat itu?”
Perempuan itu mengangguk. “Kata banyak orang, itu panggilan sayang.”
Lelaki itu bingung. Tetapi ia mencoba mencernanya. Lebih baik memahami perempuan ketimbang mempertanyakannya. Lagi pula tidak buruk juga jika ia menggunakan panggilan sayang itu. Perempuan adalah mahkluk dengan sejuta kerahasiaanya.
“Baiklah. aku akan seperti orang-orang saja, memanggilmu Ay,” kata lelaki itu. “Itu lebih baik bila dibanding harus terus-terusan dengan panggilan kamu.” Lelaki itu mencoba menerima. “Kamu lapar?” tanyanya.
Perempuan itu mengangguk.
Lelaki itu mengeluarkan dua bungkus roti dari kantong plastik yang dibawanya tadi. “Aku hanya memunyai ini,” katanya sambil menyodorkan roti warna kuning dengan gula di pinggir-pinggirnya.
“Aku suka roti ini.”
“Itu namanya roti sisir single.”
Lelaki itu tersenyum. Ia kembali meneruskan makannya. Begitu pun perempuan itu. Mereka makan roti bersama, seperti hari yang sudah-sudah.
“Apa kamu pernah merasa di ambang antara mati dan hidup?” tanya lelaki tiba-tiba.
Perempuan itu menghentikan makannya. Dipandangnya lelaki itu. “Maksudmu? Apa pertanyaan itu yang membuatmu terlihat lelah hari ini?”
“Entahlah,” lelaki itu pasrah sebelum meneruskan omongannya. “Hanya saja aku pernah merasakan itu dua kali. Perasaan di ambang mati dan hidup. Aku takut. Sangat takut merasakan itu lagi. Sejak pagi tadi aku merasakan perasaan itu. Mengusik ingin pergi. Aku takut, Ay.”
Lelaki itu membenamkan wajahnya pada kedua tangannya. Perempuan itu mencoba mendekatkan duduknya. Ia tahu, teman lelakinya ini begitu terpukul oleh masalah perasaannya. Melihat lelaki itu masih terbenam dalam perasaannya, perempuan itu beranikan diri untuk menjulurkan tangannya ke belakang punggung lelaki itu dan melanjutkan makannya. Perempuan itu mencoba memahami. Suasana kembali menjadi hening dan sunyi. Sesekali terdengar suara kodok di salah satu tempat entah itu di mana.
“Hari sudah malam. Aku harus tidur,” kata perempuan itu sebelum akhirnya ia masuk ke dalam rumahnya. Sementara lelaki itu tinggal seorang diri di tepi kolam lele. Membiarkan pertanyaan hidup dan matinya menggantung dan terbang dibawa angin malam.
Rumah perempuan itu persis di depan kolam lele dekat masjid. Rumah bertingkat dua. Entah berapa penghuninya, tidak banyak yang tahu. Sejauh ini hanya perempuan itu yang menempatinya.
Keesokan harinya, perempuan itu seperti biasa, duduk di samping kolam lele. Tidak lama berselang, teman lelakinya datang.
“Boleh aku duduk di sampingmu selalu? Hari ini aku sudah tidak lelah. Aku ingin mendengar cerita-cerita indah darimu, kecuali perpisahan.”
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. “Duduklah. Aku sudah ingin bercerita dari kemarin.”
Seperti kemarin, suasana menjadi hening tatkala dua insan itu duduk berdampingan. Alam seakan ingin memberi ruang lebih kepada mereka untuk mengobrol.
Perempuan itu membuka pembicaraan. “Sudah lama sekali aku ingin terbang ke bulan dengan menunggangi kuda,” kata perempuan itu sambil tertawa kecil. “Aku sudah bosan di sini. Aku ingin sendiri di sana, memandang bumi yang indah ini dari sana.”
Lelaki itu sejatinya bingung. Bagaimana bisa pergi ke bulan menggunakan kuda. Tetapi dia tidak memperlihatkannya. “Aku akan bantu kamu cari kuda yang bisa membawamu ke sana, Ay,” jawabnya.
Mendengar hal itu, perempuan itu semringah. Ia melihat ada harapan dari diri lelaki itu. Harapan yang selama ini tidak ia dapatkan dari siapapun. Suasana kembali hening dan sunyi.
Tiba-tiba, lelaki itu merasa ada orang yang memerhatikannya dari lantai atas rumah perempuan itu. “Apa ada orang di lantai atas rumahmu?”
Perempuan itu mengangguk. “Dia saudara perempuanku. Dia sangat perhatian padaku.”
“Siapa namanya?”
“Sama sepertiku, tidak punya nama.”
“Apa aku juga boleh memanggilnya ay?”
Perempuan itu tersenyum.
Lelaki itu bingung. Tetapi dia tidak mau mempertanyakannya. Dia lebih memilih memahami semampunya. Senyum perempuan itu sudah menjawabnya.
“Aku masih melihat kesedihan dari sorot mata kamu,” kata perempuan itu. “Apa kamu masih galau dengan ambang hidup dan kematian yang kau katakan kemarin?”
Lelaki itu langsung lesuh. Otot-otot wajahnya langsung turun. “Sudah lama aku ingin menceritakan ini padamu. Tetapi aku selalu lupa dan tidak sempat.”
“Sekarang, aku mengingatkanmu. Aku ingin mendengar ceritamu terlebih dahulu, lalu giliranku yang cerita.”
Lelaki itu menunduk, mengusap matanya.
“Kamu sedih?”
“Cerita itu selalu mengundang air mataku.”
Perempuan itu mengeluarkan saputangan, memberikannya pada teman lelakinya. “Kamu bisa menggunakan ini. Aku ingin mendengar ceritamu.”
Degup jantung lelaki itu kembali meningkat. Dia gemetar, perempuan itu melihatnya, tetapi ia memilih membiarkan. Itu proses yang alami saat orang sedang gugup atau tertekan.
“Aku hampir di bunuh oleh dua perempuan,” kata lelaki itu memecah kekosongan.
Perempuan itu kaget tetapi ia memilih untuk mendengarkan lebih lanjut.
“Pertama, ada seorang perempuan yang sangat cantik jelita, entah mengapa dia ingin membunuhku. Sayangnya, dia keburu menikah dengan orang lain sebelum berhasil membunuhku. Lalu yang kedua, perempuan yang tidak kalah manis dan cantiknya, sama seperti yang pertama, aku hampir mati karenanya sebelum akhirnya dia yang meninggal terlebih dahulu. Dua kenangan itu terus mengusikku sampai sekarang, Ay,” terang lelaki itu seraya memandang lawan bicaranya.
“Cerita yang menyedihkan,” terang perempuan itu. Kini ia menguncir rambutnya. “Lalu apa yang kamu sedihkan? Apa ada orang yang berencana membunuhmu lagi?”
“Aku takut ada perempuan ketiga yang membunuhku. Aku takut, Ay.”
“Tidak ada perempuan yang tega membunuhmu. Kamu lelaki baik yang pernah kukenal.”
Lelaki itu kembali lesuh, “Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya, Ay.”
Mendengar hal itu, suasana kembali hening dan kosong. Malam pun beranjak tanpa mereka sadari.
“Aku harus tidur,” kata perempuan itu. Ia langsung masuk ke rumahnya dan kembali meninggalkan lelaki itu seorang diri. Cerita dari mereka berdua kembali bersambung. Malam lebih tahu cara berpamitan dengan mesrah.
Saat itu hujan, mereka berdua berteduh. Kali ini tidak seperti malam kemarin. Mereka dari tadi hanya diam dan sedikit saling menukar pandang. Hingga petir menyambar, perempuan itu terjingkat dan merelakan tubuhnya jatuh ke dalam pelukan si lelaki.
 Saat hujan benar-benar reda, mereka kembali duduk di pinggil kolam lele. Lelaki itu kali ini mengeluarkan dua bungkus mie dan sebotol plastik berisi jus apukat. Melihat itu, perempuan sangat senang. Mie dan jus apukat adalah makanan favoritnya. Katanya, kedua makanan itu mampu membuatnya hidup lebih lama dan bahagia.
“Aku tahu kamu lapar, Ay. Hujan selalu membuat orang ingin makan,” terang lelaki itu sambil memberikan mie dan jus apukatnya.
“Tadi pagi aku ingat ceritamu waktu itu, tentang pangeran dan kuda lopenya,” kata perempuan itu di sela makannya. “Aku ingin naik kuda lope itu ke bulan.”
“Itu hanya cerita mitos.”
Kuda lope adalah kuda poni berwarna putih yang ditunggangi seorang pangeran. dalam cerita itu, pangeran dikisahkan akan menyelamatkan sang putri dari tidur panjangnya. Hanya dengan ciuman sang pangeran, putri cantik itu akan kembali bangun. Bukan tanpa sebab, pangeran ingin membangunkan sang putri karena hanya putrilah yang mampu membuat kuda lopenya bisa terbang kembali. Pangeran percaya itu. Setelah sang putri bangun, pangeran langsung mengajak putri pergi ke suatu tempat bersalju yang dingin. Konon, rasa cinta dari pangeran mampu membuat salju itu meleleh dan hangat. Saat salju-salju itu meleleh, tuan putri sangat menikmatinya. Katanya, aku jatuh cinta dengan salju-salju yang meleleh. Walaupun gunung salju itu sangat dingin, semua itu bukan menjadi masalah. Sang putri tetap bersedia tinggal di sana bersama pangeran dan kuda lopenya.
Kisah itu pernah diceritakan si lelaki pada suatu malam yang dingin. Dan perempuan itu ternyata mengingatnya. Mendengar keinginan perempuan itu, lelaki itu mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Itu berat, Ay.”
“Tapi, aku ingin ke bulan naik kuda lope itu.”
“Semoga kuda lope itu ada,” kata lelaki itu.
Mereka pun kembali melanjutkan makannya dan sesekali mereka bercerita hal-hal yang lucu. Mereka akan tertawa saat mereka membicarakan hal-hal aneh yang sepeleh. Justru hal semacam itu yang membuat mereka semakin mesrah. Tidak ada yang tahu, selain lele dan Tuhan, bahwa ada perasaan yang tidak bisa diucapkan di antaranya, cinta dan sayang.
Dua hari setelah itu, perempuan itu tak kunjung terlihat di kolam lele. Lelaki itu kehilangan. Selama ini, perempuan itu yang menemaninya di kala malam datang. Duduk berdua dan mengobrol hal-hal yang renyah. Ia mencoba mencari di rumahnya, tidak ada jawaban. Rumah itu kosong. Saudara perempuan yang pernah dilihatnya waktu itu juga tidak ada. Lelaki itu sedih, ia kembali tak berdaya. Lelaki itu memilih duduk seorang diri di kolam. Bertanya pada lele-lele itu. Tetap saja, tidak ada jawaban. Bulan pun tak nampak, bintang pun tak gemerlap. Semua seakan ikut hilang.
“Apa kuda lope telah menculiknya?”
Lelaki itu gundah gulana menyambut malam. Hari-harinya getir. Ia selalu membayangkan, lilin panas yang mencair menetes tepat di bola matanya yang membuka, perasaannya lebih pedih dari itu. Uluh hatinya seakan tersayat. Penyakit jantungnya sesekali kambuh. Lelaki itu mulai sering gemetar. Jantungnya bekerja dengan cepat. Tidak jarang keringat dingin selalu mengucur dari dahi atasnya saat ia ingat perempuan itu. Di dalam keramaian sekalipun, lelaki itu merasa sepi. Perempuan itu telah mengubah kesepian dalam dirinya menjadi keramaian. Kini, sosok itu hilang.
“Apa pangeran dan kuda lopenya telah menculiknya?”
Logika lelaki itu bermain dengan dahsyat melawan hatinya. Sampai kapan pun logika selalu menentang hati. Lelaki itu yakin, perempuan itu sembunyi, tidak hilang. Sementara hati lelaki itu selalu mengatakan bahwa perempuan itu pergi meninggalkannya. Setiap malam, setiap saat, dua hal itu berkecamuk. Tidak memberi jedah sedikit pun untuk menghela napas dan berpikir sejenak. Kamu di mana, Ay. Aku membawa roti dengan taburan gula. Duduklah di sampingku, aku memunyai cerita-cerita yang indah, kecuali perpisahan.
Lele di kolam itu berkecipuk, menciptakan suasana yang tak biasa. Lele-lele itu membuat ombak yang lirih, mereka seakan ingin mengatakan sesuatu, sesuatu yang sulit dimengerti. Lelaki itu mendengar dan memahami ombak itu pada akhirnya. Ia ingat kata-kata yang pernah dikatakan perempuan itu. Aku adalah debarannya dan kau adalah jantungnya, katanya sewaktu melihat lele-lele itu memainkan genangan air kecil.
Lapor polisi jelas tidak mungkin, polisi jelas tidak percaya bahwa perempuan itu hilang diculik pangeran dengan kuda lopenya. Lelaki itu semakin bingung. Setiap saat ia menengok rumah itu, berharap ada salah seorang keluar, sehingga ia dapat bertanya, ke mana perempuan yang biasa duduk bersamaku. Hal itu tidak pernah terwujud. Rumah itu benar-benar kosong. Lelaki itu selalu sempatkan melihat ke atas rumah itu, berharap ada bayangan yang ia tangkap seperti malam yang lalu. Bayangan seorang perempuan yang kata perempuan itu adalah saudaranya. Tetapi hal itu juga tidak ada. Segalanya kosong.
Suatu hari, lelaki itu mendengar kabar bahwa perempuan itu kembali. Sontak, lelaki itu langsung datang ke kolam lele. Tempat itu kosong, tetapi ia yakin kabar kembalinya perempuan itu benar adanya. Bukan hoaks. Lelaki itu tidak putus asa, seharian penuh ia menunggu di depan gerbang merah hati itu. Perut laparnya ia abaikan. Ia sudah rindu terhadap perempuan itu. Datanglah, Ay. Aku merindumu. Aku ingin mendengar semua cerita indahmu, kecuali perpisahan.
Lelaki itu menunggu hingga tengah malam, saat bulan sedang sempurna, bentuknya terpantul jelas di genangan kolam lele itu. Sementara jangkrik bersenandung dengan mesrah sahut-menyahut. Lelaki itu melihat sekelabat bayangan. Ia langsung terjingkat dari duduk lesunya. Tak peduli perutnya sedang lapar hebat, lelaki itu mencari sumber bayangan itu.
Setelah beberapa saat mencari, gerbang itu terbuka. Seorang perempuan keluar. Melihat itu,  Lelaki itu langsung mendekat. Jantungnya berdebar cepat. Ia berharap itu teman perempuannya. Begitu mendekat, lelaki itu kaget. Itu bukan perempuan yang biasa menemaninya. Wajah perempuan itu sangat mirip. Awalnya, lelaki itu sempat sangsi, ia amati betul setiap inci wajah perempuan di hadapannya. Tidak, lelaki itu paham betul dengan wajah perempuan yang menemaninya di kolam lele selama 4tahun ini. Dia bukan perempuan yang dirindukannya.
“Apa kamu saudara perempuan yang tinggal di rumah ini?”
Perempuan itu menggeleng.
“Wajahmu mirip dengannya.”
Perempuan itu diam.
“Apa kamu tahu ke mana perempuan yang biasa menemaniku duduk di tepi kolam lele itu?”
Perempuan itu kembali menggeleng. Lalu diam.
Lelaki itu bingung. Ia terus mencecar segala pertanyaan kepada perempuan itu, hasilnya sama, kegelengan dan diam.
Lelaki itu menangis sedalam-dalamnya. Air mata itu habis terkuras. Seharian sudah mata itu menangis, hampir bengkak dan memerah. Ia mengisak tanpa henti. Lelaki itu benar-benar kehilangan.
Begitu lelaki itu ingin bertanya kembali, perempuan itu sudah tidak ada. Digedor-gedor rumah bertingkat itu. Kosong. Tidak ada jawaban sama sekali. Lelaki itu meronta-ronta, jatuh tak berdaya, meratapi nasibnya. Lelaki itu ingat dua perempuan yang hampir membunuhnya dulu, bayangan itu melintas. Lelaki itu takut. Takut hal itu terulang kembali. Lelaki itu takut mati. Ia meratap dalam-dalam. Cahaya bulan menerpa wajahnya, ia meratap ke atas. Dalam tangis dan ketakutan, lelaki itu melihat kuda terbang yang ditunggangi dua insan. Perempuan yang dirindukan lelaki itu melambaikan tangan dari atas sana. Lelaki itu menangis sekeras-kerasnya.
Turunlah, aku membawa roti bertabur gula. Aku juga akan membuatkan mie rebus dan jus apukat kesukaanmu. Aku ingin duduk di sampingmu sambil mendengar semua cerita indah, kecuali perpisahan.
Kini hati lelaki itu di ambang hidup dan mati, akhirnya ia benar-benar mati di tangan perempuan yang membuatnya rindu dan cinta.
Dari lantai dua rumah itu, terlihat seorang perempuan dengan rambut hitam halus lurus sedang mengusap air mata, melihat lelaki itu roboh.
Penyadaran butuh waktu, cepat atau lambat kau akan mengerti, katanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”