Keberhasilan Teroris
Pray for Surabaya. Slogan tersebut seakan menjadi bahan wajib yang harus diselipkan pada
unggahan dalam dunia maya, khususnya wilayah Surabaya. Warganet Surabaya
menjadikan hal itu sebagai bentuk empati sederhana atas tragedi bom bunuh diri 13
Mei. Serangan teroris tersebut terjadi di 3 gereja. Total hampir belasan korban
tewas akibat tragedi tersebut. Namun, yang menjadi permasalah utama dari
tragedi tersebut ialah bukan serangan bom dengan jumlah luka korban, melainkan
wacana yang dihasilkan akibat tragedi tersebut.
Melihat hal tersebut, jadi teringat
pernyatan yang dikemukakan oleh Noam Chomsky, “Teroris itu bukan masalah seseorang yang mengebom suatu tempat lalu
menewaskan beberapa orang, melainkan suatu bentuk tekanan, teror, ancaman, atau
suatu tindakan yang mengakibatkan ketidaknyamanan dan ketakutan.” Maksud dari
pernyataan Chomsky tersebut tersirat jelas pada tragedi bom yang berlangsung di
Surabaya. Tragedi tersebut secara langsung mengakibatkan suatu bentuk teror
yang nyata. Kemudian, teror itu berkembang dengan pesat melalui dunia maya. Warga
Surabaya khususnya, langsung merasakan apa yang dikatakan oleh Noam Chomsky. Terjadi
perasaan was-was, takut, terteror, dan terancam dan pola pikir warga Surabaya. Terbentuknya
pola pikir semacam itu tidak terlepas dari wacana yang terus berporduksi di
dunia maya.
Warganet sendiri yang sebenarnya mendukung
tindakan teror tersebut. Hal itu dapat dilihat dari unggahan-unggahan di media
sosial. Warganet terus memborbardir media sosial dengan berita-berita naas
tersebut. Banyak postingan-postingan
yang menjadikan tragedi bom itu sebagai latar dan setting. Sehingga, doktrin
wacana mengenai akibat adanya bom tersebut langsung terproduksi dengan
sendirinya. Saat produksi wacana itu berlangsung, kebenaran yang sebenarnya
menjadi bergeser dan tertutupi.
Menurut Michael Foucault, wacana itu
cenderung menguasai. Hal itu jelas terbukti dalam fenomena 13 Mei di Surabaya. Melalui wacana teror yang dibentuk dan
diproduksi, warga Surabaya sebagian besar langsung mengalami ketakutan yang
luar biasa. Itu terlihat dari cara mereka membuat himbauan agar menghindari
tempat-tempat yang berpotensi terjadi ledakan bom, seperti mall, tempat ibadah,
dan sentral-sentra tempat modern.
Manusia menjadi lebih takut hanya
dengan sebuah wacana publik. Wacana publik yang terbentuk dan terpoduksi dengan
cepat akan membuat sebuah kekuasaan baru. Yakni, ketertundukan, ketidaksadaran
yang sifatnya masif. Warga Surabaya dibombardir oleh bentuk-bentuk teror akibat
ledakan bom di 3 tempat ibadah tersebut. Sehingga ketertundukan dan
ketidaksadaran secara langsung telah bekerja. Warga Surabaya hanya dipaksa
menerima dan menerima, tanpa memberi. Seperti apa yang dinyatakan Baudrillard
perihal represi absolut: dengan memberi Anda sedikit banyak seseorang
membawanya pergi. waspadalah denga apa yang telah “diubah” dengan baik ketika dia sedang dikembalikan
kepada Anda tanpa pernah Anda merasa mengembalikannya.
Hasilnya, warga Surabaya menjadi
takut untuk beraktifitas. Dampak kuasa wacana tersebut yang nyata terjadi di sektor
pendidikan. Dispendik telah mengeluarkan memo perihal aktifitas sekolah
diliburkan di tanggal 14 Mei. Hal ini
sebenarnya merupakan bentuk ketakutan yang akut. Persis dengan apa yang
dinyatakan oleh Chomsky bahwa tujuan
utama dari teroris ialah menghasilkan sebuah tekanan, teror, ketakutakn,
kecemasan, dan ancaman. Surabaya sedang mengalaminya.
Selain itu, bentuk nyata dari
ketakutan warga Surabaya dapat dilihat dari sebuah hastag di media sosial. #kamitidaktakut, #surabayamelawan, dan #prayforsurabaya
menjadi suguhan wajib sebagai bentuk perlawanan. Hal itu bila ditelaah lebih
dalam sebenarnya hanyalah sebuah bentuk wacana negasi. Orang yang takut akan
melindungi dirinya dengan mengatakan aku
tidak takut. Pernyataan yang tertuang dari hastag itu sendiri sebenarnya
hanyalah sebuah bentuk usaha untuk melindungi diri dari ketakutan atau
permasalahannya. Belum lagi, permasalahan bertambah saat menjelang dini hari. Terjadi
ledakan di daerah Sidoarjo. Hal ini semakin menguatkan adanya serangan teroris.
Dengan demikian, aksi saling serang dari pihak teroris dan warganet semakin
riuh. Bom dibalas wacana, wacana menghasilkan teror. Itu yang sedang terjadi.
Jadi, sekarang Surabaya dan
sekitarnya benar-benar dapat dikatakan sedang mengalami rasa takut yang akut. Sebab,
hampir sebagian besar akun-akun domisili Surabaya menggunakan hastag perlawanan
di setiap postingan empatinya. Saat hal
itu terjadi, wacana menjadi penguasa baru yang mampu memicu ketegangan dan
ketakutan massal.
Wacana yang dihasilkan oleh bom bunuh
diri ini telah berhasil membuat warga Surabaya benar-benar takut. Hal itu
terjadi tidak lain karena produksi wacana yang berlangsung tidak karuan di
media sosial. Bentuk perlawanan semacam itu seperti serangan yang membabi buta.
Semakin banyak produksi wacana yang berlangsung, semakin luas pula teror yang
dihasilkan. Saat hal itu terjadi, teroris yang sebenarnya sedang tertawa dan
bersulang. Mereka telah berhasil membuat teror yang sesungguhnya. Bukan melalui
bom, melainkan wacana yang terbentuk dari hasil pemboman itu sendiri. Warganet
menjadi pionir utama untuk itu.
Komentar
Posting Komentar