Gentayangan di Pasar Malem
Rumahmu sudah dipenuhi banyak orang yang membawa beras. Semua
menggunakan penutup kepala. Sementara doa-doa menyesaki setiap sudut ruangan.
Di dalam kamar, ibumu sudah hampir kehabisan airmata, hanya saja dia memilih
terus menangis, tenggelam dalam duka. Saudara-saudaramu juga demikian, semua
menangis, kecuali perasaan yang tidak mampu merasakan kebaikan.
Kamu mendengar itu, tetapi kamu tidak bisa apa-apa. Sekujur
tubuhmu terasa dingin. Perasaan sendiri benar-benar merasuk dalam. Ingin sekali
kamu bangun dan bertanya ada apa, tetapi segalanya terasa membeku. Ada sesuatu
yang menahanmu agar terus terbujur kaku.
Kamu hanya bisa melihat orang berlalu-lalang tidak jelas. Sesekali kamu
mendengar namamu disebut-sebut. Kamu
merasakan hal yang aneh dan menakutkan. Kamu sadar sekaligus tak sadar. Ini
adalah ruang di antara hidup dan mati. Kamu merasakan, mendengar kehadiran dan
tangis.
Tiba-tiba, ada cahaya yang kamu tangkap, masuk dari pintu
kayu itu. Cahaya itu seketika berubah menjadi sosok berjubah putih. Hadir di
depanmu, kamu ingin bangun menyambutnya, lagi dan lagi, kamu tidak bisa
melakukan apa-apa. Wajahnya tak tampak, hanya cahaya putih berseri yang
terlihat olehmu. Dari sekian orang yang ada di ruang tamu, hanya sosok itu yang
seakan bisa berinteraksi denganmu. Sosok itu terlihat ingin duduk di sampingmu.
Tiba-tiba kamu merasa takut. Kamu berusaha memanggil ibumu, tetapi tidak ada
jawaban. Kamu memanggil orang di dekatmu, sama saja, tidak ada respon. Rumahmu
penuh dengan orang, tetapi mereka tidak pernah merasa mendengarmu, berusaha mendengarmu
pun tidak. Sosok berjubah putih itu
mendekat. Kamu semakin takut dan langsung berteriak. teriakanmu membahana dan
langsung kembali, seperti gaung dalam gua. Teriakanmu tidak didengar siapapun.
“Siapa kamu?”
Sosok berjubah itu duduk di sampingmu. Ada aura yang begitu
tenang merembet menyentuh kalbumu. Ada suatu interaksi yang masuk. Sosok
berjubah itu diam, terasa ingin mengatakan sesuatu. Beberapa saat setelahnya, kamu
sadar bahwa sosok itu tidak jahat. Kamu melihatnya. Dia menunduk, begitu bercahaya.
“Siapa kamu?”
Tidak ada jawaban. Tetapi sosok itu langsung menghadap
kepadamu. Seketika, kamu merasa ada dorongan yang luar biasa kuat. Ada energi
yang tersalurkan dengan dahsyat. Kamu mulai bisa menggerakan beberapa anggota
tubuhmu. Perlahan kamu merasakan kehidupan. Kamu bisa berdiri.
Merasakan itu, kamu langsung berlari ke belakang, menemui
ibumu. Saat di depan ibumu, kamu hanya melihat mata itu telah bengkak dan
memerah. Dia telah lama menangis. Isakan kehilangan seorang anak. Kamu ingin
memeluknya, tetapi tidak bisa. Tubuh ibumu tidak bisa disentuh. Kamu bingung,
beberapa kali kamu coba, gagal, dan berteriak memanggil ibumu atau siapapun,
tidak ada jawaban. Kamu bingung dan kembali lagi ke ruang tamu. Saat di ruang
tamu, kamu melihat tubuhmu sendiri sedang terbujur panjang. Kamu melihat dirimu
sendiri. Terbungkus kain putih panjang. Kamu meratap dan bertanya, apa itu aku?
Kamu menggeleng.
Sosok berjubah itu berdiri, mendekat ke arahmu. Kamu bingung,
sungguh bingung.
“Ada apa denganku? Apa yang terjadi?” tanyamu dalam kekalutan
yang luar biasa.
“Kita sedang berada di ruang antara hidup dan mati,” jawab
sosok itu.
Jawaban itu semakin membingungkanmu. Kamu berteriak,
memanggil siapa pun, tetap saja, tidak ada yang mendengar. Kamu hanya melihat
semua orang sibuk dengan tingkahnya sendiri-sendiri. Ada aroma kapur barus dan
kembang tujuh rupa. Kamu berlari keluar, terlihat para laki-laki sedang menimba
air dan menyiapkan keranda. Selain itu, kamu melihat ada bangunan yang
menyerupai bilik. Banyak kursi-kursi yang dijejer. Tidak terlihat wajah bahagia
sama sekali. Semua ekspresi terlihat lesu dan sedih.
“Kita kehilangan sosok manusia yang baik,” kata salah
seorang. Kamu mendengarnya. Kamu mengenal pembicara itu. Tetapi, saat kamu
memanggilnya, orang itu tidak mendengarnya. Kamu bingung, dan kembali masuk, tidak
ada satu pun orang yang merasakan kehadiranmu. Sosok berjubah putih itu
mendekatimu.
Kamu terus bingung memikirkan semua ini. Mengapa aku bisa melihat diriku sendiri?
“Kita sedang berada di ruang antara hidup dan mati,” jawab
sosok itu.
Sekeras apa pun kamu mencoba berpikir, hasilnya tidak
berubah. Kamu hanya semakin terbenam dan terpuruk. Kamu menangis, sosok itu
mendekat.
“Ayo kita pergi!”
Kamu terus menangis, tidak menghiraukan ajakan itu.
Saat kamu tenggelam dalam kehampaan, ada derap kaki yang
datang. Kamu sangat mengenal sosok itu. Perasaanmu kaget bercampur bungah.
Sudah lama kamu merindukannya, dan sekarang rindu itu datang. Sosok itu selalu menemanimu di samping kolam
lele. Mengobrol, bercanda, bermain, bercengkrama, dan bermesrahan hingga malam.
Hanya saja, terakhir kamu melihat dia dibawa pangeran dengan kuda lopenya.
Sekarang kamu melihatnya datang ke rumahmu bersama saudara perempuannya. Wajah
keduanya hampir mirip. Bila tidak diteliti dalam-dalam, bisa salah orang.
Kamu berdiri, ingin menyambut kedatangannya dengan pelukan.
Kamu ingin katakan bahwa kamu merindu. Rindu yang begitu lekat dan dalam. Kamu
ingin menyatakan perasaan yang selama ini belum terucap. Saat melakukan itu, kamu
mendapatkan hasil sama seperti saat kamu ingin memeluk ibumu. Gagal. Tubuh
perempuan itu seperti bayangan yang tidak bisa tergapai. Tembus. Kamu tidak
bisa menyentuhnya sama sekali. Beberapa kali dicoba pun gagal, kamu menangis,
bingung.
Ay…. Kamu panggil
nama itu dengan mesrah, tak didengar. Sekencang mungkin, hasilnya juga sama.
Perempuan itu tidak mendengarmu. Dia langsung duduk di samping tubuh bertutup
kain putih itu. Kamu melihat tubuhmu sendiri yang semakin memucat.
Perempuan itu menangis. Kamu melihat airmata membasahi
pipinya. Kamu ingin mengusapnya seperti saat ia menangis di samping kolam lele
malam itu. Tetap saja tidak bisa. Kamu meronta-ronta. Aku ingin, aku ingin memelukmu, Ay… Perempuan itu menangis, dalam.
Saudara perempuannya juga demikian. Kau kalut tak tentu arah. Mengapa aku begini….
“Tak kusangka secepat ini,” kata saudara perempuan itu. “Dia
lelaki baik,” imbuhnya.
Kedua perempuan itu saling menguatkan.
“Ayo kita pergi!” kata sosok berjubah putih itu.
Kamu semakin terbenam. Kamu benar-benar merasa sendiri.
kosong. Tangismu tak terbalas dan tak terdengar. Ada skat yang memisahkanmu
kini. Pembatas yang sulit dan mustahil untuk dilewati. Getir, itu yang kamu
rasakan, tidak ada yang menemani, seperti hantu.
“Pergi ke mana, hah?” jawabmu kesal. Kamu memberontak.
Ditatapnya tajam sosok berjubah putih itu. “Aku belum mengatakan perasaanku
pada perempuan itu. Dia perempuan yang baik. Dia selalu mengingatkanku makan,
tidur, dan menyemangatiku setiap saat. Aku nyaman dengannya. Ada suatu hal yang
ingin aku katakan padanya.”
Sosok berjubah putih itu mendekat. “Tidak perlu kamu katakan
itu,” katanya.
Mendengar itu, kamu langsung naik darah. “Pergi! Dasar
mahkluk tidak jelas!”
Sosok berjubah itu tak bergeming. Wajahnya semakin
memancarkan cahaya keemasan. Sementara kamu semakin terpuruk. Suara orang
mengaji menyeruak ke seluruh lapisan pendengaranmu. Ada suara orang-orang yang
menyebut namamu, ada suara tangisan ibumu, saudaramu, serta terdengar pula suara
tangisan perempuan itu. Kamu mendengarnya sangat jelas. Semua itu tidak dapat
kau jawab.
Ketika kamu terduduk lemas meratap, dan mulai merasa
ketakberdayaan yang akut, sosok berjubah itu mendekat dan memegang bahumu. Kamu
merasakan sesuatu yang lain. Sentuhan kehangatan. Dalam. Menyentuh.
Sekejap mata, segalanya bergerak dengan cepat. Terkesima,
terbengong, itu yang melanda pikiranmu saat ini. Tiba-tiba, dengan sadar kamu dibawanya
terbang menembus segalanya. Waktu seakan berputar mundur. Kamu melihat masa
lalu itu berjalan dengan cepat, berganti, hilang, ganti, dan hadir. Ruangan
yang tadinya sesak penuh orang membawa beras, berubah menjadi kilauan lampu
yang gemerlap. Waktu berjalan mundur, kamu sadar itu. Sosok berjubah putih itu
masih memegang pundakmu. Kali ini lebih erat. Ada getaran waktu yang ingin
disalurkannya padamu. Begitu sentuhan itu terlepas, kamu sudah berpindah ke
tempat lain. Sudah tidak ada tangisan, hanya ada kerumunan para pedagang. Kamu
melihat rembulan dan bintang. Ini sebuah pasar, katamu lirih.
Kamu bingung, pandanganmu langsung meloncat ke sana-ke mari,
hingga berhenti pada suatu titik. Kamu pandangi sosok berjubah itu, dia hanya
diam.
Dari jarak yang tidak terlalu jauh kamu berdiri, terlihat
seorang perempuan jalan beriringan dengan seorang lelaki. Kamu mengenal betul
siapa sosok itu walau dari belakang. Punggung perempuan itu sangat melekat di
pikiranmu. Kamu tidak salah. Saat kamu ingin melangkah, kakimu tidak bisa
digerakkan. Sekuat tenaga kamu berusaha, segalanya semakin berat. Kakimu
membatu. Keriuhan pasar malam itu membuatmu penasaran. Kamu mengenal sosok
perempuan itu.
Dua sosok yang bergandengan itu walau berjalan, tetapi terasa
diam, tidak bertambah jauh maupun dekat. Hanya terdengar mereka sedang
membicarakan sesuatu, lirih, samar-samar, kamu bisa menangkapnya. Rasa
penasaranmu memuncak tak kala mereka berjalan dengan mesrah. Kamu sungguh ingin
melihatnya dari depan, memastikan.
Kamu menyerah, kakimu benar-benar tidak bisa dibuat
melangkah. Segenap usaha telah kamu coba. Kaki itu semakin membatu, seperti
sedang dicor dengan semen yang benar-benar kuat.
“Perhatikan saja,” kata sosok berjubah itu.
Kamu yang sudah tidak bisa melawan, hanya bisa menuruti
petuah itu. Setiap inci dari dua orang itu langsung kamu perhatikan. Seperti
elang yang menatap buruannya, fokus. Kamu sadar dan mengenalnya. Itu perempuan
yang selalu menemanimu di samping kolam lele yang biasa kamu panggil Ay.
“Mengapa dia ada di sini?” tanyamu dalam kebingungan.
“Bukankah dia tadi ada di rumahku dengan saudaranya?”
“Perhatikan saja,” kata sosok berjubah putih itu.
“Siapa lelaki itu?” pikiranmu langsung pecah ke mana-mana.
“Mengapa aku tidak bisa berjalan? Dia dengan siapa di pasar malem?” tanyamu
beberapa kali. Kamu kalut sedalam-dalamnya.
“Perhatikan saja,” kata sosok berjubah putih itu.
Rambut perempuan itu selalu dikuncir kuda. Kamu mengenalnya.
Pandanganmu langsung turun ke bawah. Perempuan itu memakai sandal hitam yang
trawang. Kuku-kuku kakinya begitu terlihat serasi dengan warna hitam sandal
itu. Sangat terlihat pas dengan kakinya yang lencir. Sementara sosok di
sampingnya menggunakan sandal bermotif laki-laki. Dua pasang kaki itu berjalan
beriringan. Melihat hal itu, sekali lagi kamu berusaha bergerak. Segalanya
percuma. Seakan ada kekuatan yang mengharuskanmu tetap di tempat memerhatikan,
seorang perempuan berjalan dengan seorang laki-laki di pasar malem. Mesrah.
Kamu mencoba memanggil perempuan itu sekencang-kencangnya.
Tidak berhasil. Kamu menangis, mendera, meratap, meronta-ronta tak tentu arah.
“Dia dengan siapa? Apakah itu pangeran yang membawanya pergi? Kalau itu
pangeran, di mana kuda lopenya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu berpendar, berputar menggilai
dirimu. Kepalamu hampir pecah mencari jawabannya.
Kamu hanya bisa bertanya dalam tangis yang semakin
menjadi-jadi. Kamu pukul-pukul tubuh sosok berjubah putih itu. Sementara sosok
berjubah putih itu tak bergeming. Hanya mengeluarkan cahaya keemasan yang
menghanyutkanmu.
Sekejap, suasana berganti. Kini, kamu melihat perempuan itu
masuk ke dalam mobil hitam. “Apa itu kuda lope yang digunakan pangeran saat
menyelamatkan tuan putri?” tanyamu dalam kekalutan.
Belum sempat mendapatkan jawaban, suasana langsung bergerak
dengan cepat. Seketika kamu telah berada dalam sebuah mobil. Di depanmu kini
persis terlihat perempuan itu memainkan seikat bunga. Selain itu, kamu juga
mendengar ucapan yang mesrah dari arah kemudi. Itu suara laki-laki. Kamu
mendengar itu dengan jelas. Selamat ulang
tahun, katanya. Tetapi, lagi dan lagi kamu hanya bisa mendengar, tidak bisa
berbuat apa-apa. Perempuan itu terlihat senang, ada senyum di bibirnya. Kamu
melihat senyum itu pernah diberikan padamu. Perempuan itu langsung
mendokumentasikan momen romantis tersebut dengan sebuah alat perekam video.
Sementara kamu tenggelam dalam tangis yang tak berkesudahan.
Saat kamu meratap kesedihan yang mendalam, tangan sosok
berjubah itu kembali memegang pundakmu. Seperti yang kamu rasakan tadi, waktu
tiba-tiba berjalan mundur. Segalanya berputar, suasana dalam mobil yang remang
itu memudar, berganti, hadir, kembali, hilang, berganti tempat.
Kini kamu berada di sebuah acara pernikahan.
Degup musik dangdut menggema di telingamu. Lalu lalang orang
memadati pandanganmu. Kamu mengusap airmatamu perlahan. Matamu hampir bengkak.
Pipimu sudah lembab. Airmata itu mungkin sudah bingung harus membasahi bagian
mana lagi dari wajahmu.
“Ini di mana? Siapa yang menikah?” tanyamu.
“Perhatikan saja,” kata sosok berjubah putih itu.
Tidak ada yang aneh dengan acara pernikahan itu. Dua orang
sedang duduk di atas kuade, terlihat begitu mesrah. Kamu mencoba memerhatikan
sebaik mungkin, tetap saja, kamu tidak mengenal pengantin itu. Kamu tampak
asing, nyaris tidak tahu sama sekali siapa pengantin itu. Lalu, pandanganmu
bergeser ke arah para tamu.
Tangismu kembali pecah. Kamu melihat perempuan yang selalu
mengingatkanmu makan, tidur, dan bekerja, perempuan yang membuat kamu nyaman,
hadir di acara pernikahan dengan seorang laki-laki. Berdua. Tidak terlihat ada
kawan-kawan lain bersama mereka. Kamu tidak bisa melihat wajah lelaki itu,
tetapi kamu bisa melihat sosok perempuan itu dengan jelas. Mereka mengobrol
dengan lirih tapi mesrah. Tidak salah lagi. Itu perempuan yang selalu
menemanimu di samping kolam lele. Perempuan yang selalu kamu beri roti dan jus
apukat. Perempuan itu, membuatmu menangis untuk ke sekian kalinya. Dalam.
Basah. Tak tertahankan. Apa ini yang
terjadi di balik ketidaktahuanku…
Perempuan itu masuk ke dalam sebuah mobil hitam. Pulang.
Tidak…. Kamu
berteriak sekencang mungkin. Tidak ada yang mendengar, sosok berjubah putih itu
langsung memegang pundakmu. Menghentikan segalanya. Seketika kamu telah kembali
ke rumahmu.
Perempuan itu masih di sana, di samping tubuhmu bersama
saudara perempuannya. Kamu tahu, sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ibumu
keluar dari kamarnya, menghampiri perempuan itu. Perempuan itu jatuh ke dalam
pelukan ibumu. Mereka saling menguatkan.
“Maaf, Bu,” katanya. “Almarhum orang yang sangat baik padaku,”
ibuku langsung menangis, saudara perempuan itu juga. Kamu melihat dan
mendengarnya dengan jelas.
“Ayo kita pergi!” kata sosok berjubah putih itu. “Kamu sudah
melihat semuanya.”
Kamu berdiri dari kekalutanmu. “Bisakah aku mengatakan
perasaanku kepadanya?” tanyamu pada sosok berjuba itu. “Aku mencintainya. Sudah
itu saja.”
“Tidak perlu kamu katakan itu. Kamu sudah melihatnya.”
Kamu melihat tubuhmu semakin memucat. Sementara tangis dan
doa masih riuh menghiasi rumahmu. Ada kehilangan yang begitu kuat menghiasi
seisi hati orang-orang di rumahmu. Kamu
mendengar ungkapan yang lirih, itu dari dalam hati saudara perempuan itu, tidak ada sesuatu yang mampu menghantui
kita, selain hal yang tidak kita ungkapkan.
“Keranda sudah siap,” kata salah seorang dari luar.
“Ayo kita pergi. Waktunya sudah habis.”
Perempuan itu menyebut namamu lirih, banyak perasaan yang harus aku jaga, katanya sangat lirih. Saudara
perempuan itu memahaminya.
Kamu menangis. Dalam. Basah. Ingin memeluk. Hanya bisa, …
pergi.
Kuda Lope tidak
mencurinya.
Komentar
Posting Komentar