Permodelan Makna di Warganet
Warganet
merupakan padanan kata dari netizen
atau yang lebih umum disebut dengan para pengguna internet. Dua kata tersebut
hampir memiliki arti kata yang sama, yakni suatu kelompok yang menggunakan atau
menjadikan internet sebagai media komunikasinya. Di dalam lingkungan warganet,
informasi disebar melalui media sosial (Facebook, Instagram, Line, Twitter,
dll). Melalui media tersebut, warganet berinteraksi satu-sama lain, dan saling
tukar informasi apa pun secara berkelanjutan tanpa henti-serta dengan kecepatan yang luar biasa cepat. Tetapi, yang jadi permasalahan atas hal itu adalah tidak ada filterisasi informasi dalam interaksi yang begitu luar biasa tersebut.
Semua pesan atau informasi yang
diberikan tidak mengalamai proses editing atau seleksi (validasi). Warganet bisa dengan mudah menyebar
segala bentuk pesan dan informasi kepada khalayak banyak tanpa adanya proses
keabsahan. Tidak adanya proses editing dan validasi membuat interaksi dalam lingkungan warganet menjadi rancu, tumpang tindih, dan tidak jelas. Itu merupakan permasalahan yang serius. Hingga dewasa ini, belum ada landasan analisis yang jelas, berkualitas, dan
tepat dalam mengklarifikasi keabsahan pesan dan informasi yang diberikan. Hal
itu memungkinkan pesan atau informasi bersifat hoax (hoaks). Dalam pengertian yang lebih luas, hal itu disebut hiperrealitas (melampaui realitas).
Dunia
warganet kini berlari melampaui realitas, representasi, makna, sosial, utopia,
dan media tersebut, yang membuat umat manusia (warganet) ke dalam panorama
ekstrem, yaitu sebuah kondisi yang di dalamnya segala sesuatu berkembang,
bertumbuh, dan membiak tanpa kendali serta dengan kecepatan tinggi, sehingga
melewati segala batas yang seharusnya tidak ia lewati. Segala hal bertumbuh ke arah melampaui (overproduksi, overaksi, overekstasi, overinformasi,
overkomunikasi). Setiap hal, segala sesuatu berlomba melewati batas-batas
terjauh yang semestinya tidak dilampaui. Begitulah hoaks menemukan perannya
secara utuh dan damai.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah hoax sama dengan arti kata bohong (tidak sesuai dengan hal, keadaan
atau sebagainya yang sebenarnya); dusta. Hoaks atau biasa warganet artikan
dengan berita bohong sangat mungkin terbentuk di dalam lingkungan media sosial.
Jika ditelaah lebih dalam, media sosial justru menjadi tempat berkembang
biaknya hoaks. Media sosial menjelma menjadi sebuah kebutuhan yang mutlak dalam
lingkungan tersebut. Cakupan media sosial bukan hanya pada lingkungan netizen
itu sendiri, melainkan menembus dan memadukan antara dunia realitas (nyata)
dengan dunia simulasi. Perpaduan antara realitas dan simulasi akan
mengakibatkan kerancuan, kekaburan, serta kehilangan suatu makna atas objek.
Dapat dibilang, warganet sedang mengonsumsi makna yang mati, tidak menjelaskan
hal yang benar-benar real.
Selain
matinya makna, hal yang terkandung dalam berita hoaks adalah hasil dari
kepentingan individu maupun golongan. Hoaks hanyalah salah satu cara atas
kepentingan tersebut. Anehnya, warganet tidak menyadari adanya hal yang hilang
dan terselubung. Jika ditelaah lebih dalam, semua informasi yang diterima
warganet sebagian besar berupa fragmen (penggalan) dari sesuatu yang utuh. Semisal,
postingan di instagram hanya memberi
durasi waktu maksimal 1 menit untuk jenis video. Batasan waktu inilah yang
mengakibatkan informasi yang utuh itu menjadi penggalan (fragmen). Penggalan-penggalan
tersebut akan memberi celah untuk disisipi kepentingan lain. Pada celah itulah
pihak tertentu menyelipkan tujuan
penguasaannya. Tujuan tersebut tidak lain adalah meracuni, mengacaukan,
memobilisasi, memengaruhi keadaan individu atau pun golongan. Salah satu cara
yang paling ampuh untuk hal itu adalah menyebar berita hoaks.
Selain
berupa fragmen, informasi-informasi yang diterima juga berasal dari rekayasa
teknologi, biasa dikenal oleh warganet dengan sebutan editing. Editing dalam
hal ini bukan sebuah otonom yang kompeten di bidangnya-yang memfilter atau
mengkoreksi kevalidan informasi, melainkan sebuah teknologi. Bila dicermati,
hoaks selalu bersembunyi di balik itu.
Sifatnya
yang fragmen serta penuh dengan editing
membuat makna yang terkandung dalam informasi benar-benar tidak jelas atau
dalam keadaan yang lebih ekstrem menjadi hilang. Tidak jelas dan hilangnya
makna ialah sifat utama dari hoaks. Penyebab tidak jelas atau hilangnya makna
itu adalah disandingkannya antara kebenaran dan fiktif. Kedua unsur yang
jelas-jelas berbeda tersebut coba disatukan di dalam sebuah wadah yang disebut
dengan media sosial (rumah bagi warganet menjalin interaksi).
Sehubungan
dengan hal di atas, produksi makna di internet justru dilakukan dengan cara
yang sangat mudah. Bentuk nyata dari produksi tersebut ialah wacana. Dalam
dunia komunikasi, wacana menyebar lewat relasi-relasi yang ada. Relasi tersebut
dijadikan akses utama dalam optimalisasi penyerapan informasi. Jumlah relasi
dalam media sosial jumlahnya tak terbatas. Nyaris mustahil bila harus dihitung
berapa relasi yang terlibat penyebaran atau pun penerimaan. Hal ini yang menjadi
titik permasalahan utama yang dialami warganet dengan hoaksnya.
Dicermati
lebih dalam, produksi makna yang berlebih terjadi di dalam tubuh sentral
warganet itu sendiri. Setiap bentuk aplikasi komunikasi di media sosial selalu
menyediakan alat produksi. Semisal, aplikasi screenshot, copy-paste, salin, unduh, repost, dll. Alat produksi tersebut justru telah membunuh warganet
itu sendiri. Alat-alat tersebut telah mampu menciptakan dunianya sendiri.
Sebuah dunia yang penuh dengan kerancuan, kepalsuan, imitasi, salinan, copy-an, dan sejenisnya. Dalam dunia
tersebut, mereka tidak lagi mengenal antara yang asli dan tiruan, benar dan salah.
Semua melebur dan menyebar tanpa ada jeda.
Dalam
kasus seperti ini, warganet diberi informasi sekaligus alat untuk mengola
informasi tersebut dengan bebas. Alat produksi informasi tersebut secara sadar
maupun tidak telah digunakan oleh setiap warganet saat berinteraksi. Warganet
menggunakan alat produksi tersebut seperti permainan bebas, tanpa batasan,
semau gue. Akibatnya, secara langsung makna yang terkandung dalam informasi itu
dengan mudahnya akan berkembang biak, berpindah, menyebar. Tanpa adanya sortir
kevalidan makna, konsumsi informasi yang demikian layaknya racun dalam minuman
manis. Ditenggak dengan nikmat tanpa memedulikan bahwa ia telah bunuh diri.
Semua
yang terjadi di internet sudah berada pada tahap melebihi batas. Dunia yang
melampaui batas-batas inilah yang disebut oleh beberapa pemikir, khususnya Jean
Baudrillard dan Umberto Eco, sebagai dunia hiperrealitas atau dunia yang
melampaui realitas (Piliang, 2004: 56). Saat dunia tanpa batas itu hadir, hoaks
akan mulai lahir ke dunia warganet (internet). Sebuah dunia yang subur dengan
kedustaan.
Dalam
Lubis (2014: 180), Baudrillard mengemukakan bahwa kita sekarang ini hidup dalam
satu era yang ia sebut “era Simulasi” atau zaman di mana keaslian dan dunia
cultural yang cepat lenyap. Simulasi adalah penghilangan antara yang real
dengan yang imajiner, yang “nyata” dengan yang
“palsu”. Sebuah era yang sangat cepat berpindah dan berubah.
Di
dalam Oxford Advance Learner’s,
istilah simulasi (simulation)
diartikan sebagai (1) sebuah situasi yang di dalamnya kondisi tertentu
diciptakan secara artificial (lewat computer) dalam rangka mendapat pengalaman
tentang sesuatu yang ada di dalam realitas dan (2) tindakan berpretensi
seakan-akan sesuatu itu nyata padahal tidak. Tetapi, dalam Piliang (2004: 60)
dinyatakan, Baudrillard tidak mau berhenti
dengan pengertian seperti itu. Baginya, simulasi jauh lebih luas
pengertian dan cakupannya, sehingga mencakup pengertian yang kedua, “tindakan
berpretensi seakan-akan sesuatu itu nyata padahal tidak”. Sejalan dengan
hiperealitas, simulasi itu merupakan bentuk nyata atas makna yang hadir dalam
warganet.
Setiap
tanda mengandung makna. Menurut Piliang (2004), Elemen-elemen tanda yang
merupakan bagian dari dunia realitas kini dikombinasikan dan berbaur dnegan
elemen-elemen tanda yang bukan realitas (fantasi, imajinasi, ideologi) ke dalam
satu kombinasi kontradiktif dan eklektik tanda-tanda (electric signs), yang menciptkan semacam realitas baru (neo-reality) yang tidak lagi berkaitan
dengan realitas yang sesungguhnya.
Dalam
buku Hipersemiotikanya, Piliang menyebutkan macam-macam tanda yang disuguhkan
dalam internet. Pertama, tanda
sebenarnya (proper sign). Tanda
sebenarnya adalah tanda yang mempunyai hubungan relative simetris dngan konsep
atau realitas yang direpresentasikannya. Tanda [A] menggambarkan sebuah
realitas [A], meskipun dalam hal ini, tanda tidak dapat disamakan dengan
realitas yang dilukiskannya. Ini hanya untuk melukiskan sifat jujur sebuah tanda.
Kedua,
tanda palsu (pseudo signs). Tanda
paslu adalah tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan, berpretensi, gadungan,
yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas, lewat reduksii penanda
maupun petanda. Penanda berpretensi seakan-akan ia adalah asli (sebenarnya),
padahal palsu (bukan sebenarnya). Tanda palsu melukiskan realitas [A] dengan
mengatakannya sebagai [1/2 A]. tanda-tanda palsu banyak digunakan di dalam
media.
Ketiga,
tanda dusta (false sign). Tanda dusta
adalah tanda yang menggunakan penanda yang salah (false signifier) untuk menjelaskan sebuah konsep yang, dengan
demikian, juga salah. Tanda [A] digunakan untuk menjelaskan realitas yang
sesungguhnya adalah [B]. terdapat hubungan asimetris antara tanda dan realitas.
Keempat,
tanda daur ulang, (recycled signs).
Tanda daur ulang adalah tanda yang telah digunakan untuk menjelaskan
peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang
khas), kini digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini (yang sesungguhnya
berbeda atau tidak ada sama sekali). Terjadi proses dekontektualisasi tanda,
yaitu tanda-tanda masa lalu dicabut dari konteks ruang waktu aslinya (budaya,
manusia, dan makna aslinya); lalu didaur ulang atau direkontekstualisasi di
dalam konteks ruang waktu yang baru untuk berbagai tujuan, kepentingan, dan
strategi tertentu. Tanda [A] dalam konteks ruang waktu [A] digunakan untuk
menjelaskan konteks ruang waktu [B].
Kelima,
tanda artifisial (artificial signs).
Tanda artifisial adalah tanda yang direkayasa lewat teknologi citraan mutakhir
(tekologi digital, computer graphic, simulasi), yang tidak empunyai
referensinya pada realitas. Ia disebut juga tanda-tanda yang tidak alamiah atau
buatan. Tanda-tanda seperti ini sangat menggantungkan dirinya pada kemampuan
teknologi mutakhir dalam menciptakan citraan, yang sama sekali tidak mengacu
pada realitas. Tanda [A] digunakan untuk menyampaikan realitas dirinya sendiri
[A]. dalam hal ini, berbeda dengan anda sebenarnya-yaitu tanda yang digunakan
untuk menjelaskan sebuah realitas di luar dirinya dalam bentuk
representasinya-tanda artifisial, sama sekali tidak merepresentasikan realitas
di luar dirinya
Keenam,
tanda ekstrem (superlative signs).
Tanda ekstrem adalah tanda yang ditampilkan dalam sebuah model pertandaan yang
ekstrem, khususnya lewat efek-efek modulasi pertandaan dan makna yang jauh
lebih besar ketimbang apa yang ada di dalam realitas sendiri, semacam
intensifikasi realitas, peningkatan efek, ekstrimitas makna. Tanda [A]
digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari [A]. ada
efek pelipatgandaan pada sebuah tanda-semacam multiplikasi efek-yang
menghasilkan sebuah ungkapan hiperbolis atau superlative.
Akan
tetapi, selain beberapa kategori tanda di atas, yang juga termasuk ke dalam
kategori tanda dalam pandangan Baudrillard, adalah kondisi berbaur dan tumpang
tindihnya berbagai bentuk tanda tersebut di atas (tanda sebenarnya, tanda
palsu, tanda dusta, tanda daur ulang, tanda artifisial, dan tanda superlative)
di dalam satu ruang yang sama, sehingga di dalamnya antara yang semu/asli,
palsu/tiruan, masa lalu/ masa kini, alamiah/artifisial, bercampur aduk dan
bertumpang tindih, sehingga tidak dapat
lagi dibedakan (Piliang, 2003: 59).
Beberapa
pengertian tanda di atas tergolong ke dalam istilah yang warganet pakai, yakni
hoaks. Merujuk pada hal itu, hoaks bukan lagi sebatas informasi atau pesan
palsu, melainkan sudah mencakup lingkup yang lebih luas. Mulai dari tanda
sebenarnya, tanda palsu, tanda dusta, tanda daur ulang, tanda artifisial, dan
tanda superlative, semuanya bisa dikategorikan ke dalam hoaks. Sebab, hoaks
sendiri merupakan sebuah berita yang disajikan tidak sesuai dengan realitas
aslinya, ada proses editing, dan juga keterlibatan teknologi. Dalam hal ini,
hanya alat produksi (model) makna yang menjadi pembedanya. Model makna ini yang
akan menjadi eksekutor utama dalam terbentuknya tanda hoaks. Penggunaan model
tersebut juga bergantung pada tujuan dari pelakunya, dalam hal ini adalah penguasa (kapitalis).
Sebab, tujuan yang paling lazim terdapat dari segi ekonomi, hingga yang paling
ekstrem dari segi SARA. Penguasa dalam hal ini menggunakan konsep relasi kuasa
dalam menyebarkan berita hoaks.
Foucault, mendefiniskan
relasi kuasa sebagai sesuatu yang membuat orang patuh. Relasi kuasa merupakan
konsep hubungan kekuasaan yaitu praktik-praktik kekuasaan dari subyek pada
obyek melalui berbagai media dan rupa. Kekuasaan yang dimaksudkan tidak didapat
dari cara- cara yang represif, melainkan secara manipulatif dan hegemonik.
Secara lebih sederhana, konsep tersebut ialah berupa jaringan. Dalam warganet,
istilah jaringan tersebut biasa disebut dengan followers atau pengikut. Melalui
jaringan tersebut, hoaks dengan mudahnya bergulir, berpindah, dan berubah.
Relasi-relasi tersebut secara simultan saling mengisi dan mendukung. Sehingga,
keabsahan atas seseuatu yang hiperreal itu terbentuk. Dengan begitu, hoaks
sudah tidak bisa diselidiki lagi, hoaks sudah menjadi informasi, dibaca, dan
disebar. Warganet sudah tidak lagi mampu melakukan analisis terhadap informasi
yang demikian. Sebab, laju dari perubahan informasi dari waktu ke waktu
berjalan sangat cepat, silih berganti, dan tanpa henti. Saat hal itu terjadi,
hoaks sudah menemukan tempatnya untuk bersembunyi dan berkembang biak.
Legalitas dibentuk oleh relasi itu sendiri. Relasi dan kuasa menjadi kunci
utama dalam keabsahan informasi yang ada dalam media sosial.
Untuk mengatasi masalah
hoaks seperti penjelasan di atas, hanya diperlukan sebuah kebijakan yang tegas
dari pihak pemerintahan atau otoritas terkait. Sebab, bagaimana pun
pemerintahan memiliki kekuasaan tertinggi dalam hal ini. kekuasaan tersebut
bisa dioptimalkan. Mulai dari menetapkan
aturan-aturan yang tegas, meminimalisis subjek-subjek yang rentan akan
provokasi, membuat filterisasi informasi online, serta mulai menghilangkan
aplikasi pendukung media sosial semacam scrennshot,
copy-pasti, salin, penjamakan, dll yang sifatnya manipulatif dan
duplikatif. Bila tidak demikian, media sosial tidak mungkin bisa dilepaskan
dari bayang-bayang hoaks. Tidak dapat dipungkiri juga, media sosial ialah rumah
terhangat bagi hoaks (manipulatif tanda-makna)
Berdasarkan
penjelasan di atas, warganet hidup dalam lingkungan yang penuh dengan manipulatif
tanda (matinya makna). Baudrillard menamai dunia itu dengan sebutan dunia
hiper, atau lebih umum disebut hiperealitas (melampaui realitas). Sebuah dunia
antara yang semu/asli, palsu/tiruan, masa lalu/ masa kini,
alamiah/artifisial, bercampur aduk dan bertumpang tindih, sehingga tidak dapat lagi dibedakan. Sangat sulit
memberi pengawasan maupun analisis terhadap dunia semacam itu. Kondisi tanpa
pondasi tersebut sangat tidak memungkinkan warganet melakukan analisis lebih
dalam terhadap masalah itu. Kalau pun sempat, mereka tidak akan mampu.
Informasi itu telah bergulir, berpindah, berproduksi beriringan dengan waktu.
Antara waktu dan informasi sudah saling bergandengan untuk berlari. Selain itu,
secara realitas warganet cenderung lebih memilih mencampakkan dan memamabiakan
daripada harus menganilisisnya. Hal itu terkesan lumrah dan wajar. Sebab,
internet sendiri ialah lingkungan semu, lingkungan yang tidak real, lingkungan
yang tidak nyata. Pada lingkungan ambigu tersebut warganet melakukan interaksi.
Pandangan semacam itu menjadikan semua yang ada di dalam dunia nyata juga ikut
terkait menjadi semu, tidak real, dan menyalahi logika. Satu-satunya jalan
untuk meminimalisasi hal ini ialah upaya yang tegas dari pihak pemerintah dan
juga yang paling penting ialah kesadaran subjek untuk lebih kritis dan berpedoman dalam
bersikap, bertindak, dan bertingkah laku. Dengan begitu, hoaks yang telah
menjamur di lingkungan warganet bisa sedikit diatasi secara lebih dewasa.
Daftar
Pustaka
Baudrillard,
Jean. 2015. Lupakan Postmodern.
Bantul: Kreasi Wacana.
Darma,
Yoce Aliah. 2013. Analisis Wacana Kritis.
Bandung: Yrama Widya.
Foucault,
Michael. 2012. Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta:
IRCiSod
Foucault,
Michael. 2016. Disiplin Tubuh (Bengkel
Individu Modern). Yogyakarta: LKiS
Haryatmoko.
2016. Membongkar Rezim Kepastian.
Yogyakarta: Kanisius.
Lubis,
Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori
dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
Piliang,
Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir
Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Piliang,
Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Bandung: Jalasutra
Komentar
Posting Komentar