Guru SMP KAWUNG 1 Padukan Literasi dengan Demokrasi Lewat Mading


Mading (majalah dinding) sebagai wadah literasi tidak pernah pudar. Gempuran teknologi digital tidak membuatnya kehilangan tempat. Itu sebabnya, para guru khususnya guru Bahasa Indonesia selalu menjadikan mading sebagai salah satu tugas yang harus dipenuhi siswa. Tidak terkecuali dengan Kartika Purwaningtyas, S.Pd
Kali ini, Guru tersebut menjadikan mading sebagai ujian praktik kelas IX SMP Kawung 1 Surabaya tahun ajaran 2019/2020. Menurutnya, “Ada kesesuaian yang kuat antara mading dan pelajaran bahasa Indonesia. Khususnya pada materi akhir kelas IX, literasi.”
Mulanya, guru tersebut menjelaskan sekaligus memberi contoh bentuk mading yang sudah jadi. Kemudian, beliau menentukan konten apa saja yang harus termuat.
“Total ada 5 konten utama. Foto lucu, tutorial unik, iklan menghibur, pengetahuan populer, dan quotes. Masing-masing konten bisa 3 sampai 4 tulisan,” terangnya saat diwawancari di ruang guru.
Semua konten itu bisa dicari via daring (medsos), khususnya instagram dan facebook. Seperti konten pengetahuan populer, siswa disuruh menyalin unggahan akun instagram Akutahu. Menurutnya, akun tersebut sangat berwawasan kekinian. Sangat cocok untuk pengetahuann generasi millenial.
Guru yang juga aktif mengajar bahasa Jawa tersebut menambahkan, “Saya sengaja menjadikan medsos sebagai tempat mencari informasinya. Selain karena mereka akrab dengan itu, olah informasi akan dirasa nyata, dan mereka terlihat antusias tanpa kesulitan.”
Di awal 2020, selama sekitar satu minggu setengah, 12 mading dari 3 kelas berhasil terkumpul. Rata-rata setiap kelompok mengerjakannya di rumah. Di sekolah mereka hanya melengkapi yang kurang.
“Pembuatan mading ini tidak terlalu banyak biaya dan cepat. Mungkin yang mahal adalah tatakan backgroundnya. Itu pun sudah saya sarankan pakai kardus bekas yang ditutupi karton warna daripada stereofom yang dirasa mahal,” imbuhnya.
Yang menarik dari ujian praktek kali ini ialah sistem penilaian yang diusung guru lulusan PGRI Adi Buana tersebut. Beliau mengatakan, tidak bakal menilai hasil mading anak didiknya secara pribadi seperti pada umumnya. Dia ingin semua siswa kelas 7, 8, dan 9 berpartisipasi sekaligus terlibat dalam proses penilaian. Guru tersesbut menggunakan sistem pemungutan suara.
“Namanya juga mading. Pembaca sendiri yang harusnya melakukan penilaian,” terangnya.
Dengan bantuan OSIS, semua mading dipajang di tembok, lengkap dengan nama dan foto kelompok masing-masing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”