Ekstasi dalam Cerpen Riwayat Sebuah Pistol Perspektif Wacana Hiper




Bicara tentang hiperealitas, paradigma kita langsung mengacu pada pemikir Perancis, Jean Baudrillard. Filsuf yang mengkritisi mode dan teknologi media tersebut menjelaskan bahwa setiap wacana media yang dibentuk selalu bersifat hiper. Makna wacana yang ada di dalamnya sudah berbaur, antara nyata-ilusi, benar-salah, asli-palsu, tiruan-mitasi, dll sudah menjadi satu-kabur. Makna dalam dunia hiper sudah mati. Yang hadir dalam dunia tersebut hanyalah citra dan efek. Citra dan efek itu terjadi akibat adanya keberlimpahan makna yang oleh Baudrillard disebut dengan ekstasi. Dalam hal ini, cerpen Riwayat Sebuah Pistol karya Aris Rahman bisa dimasukkan ke dalam perspektif itu.

Dalam cerpen itu, pengarang yang masih aktif sebagai mahasiswa Antopologi Unair itu mengangkat konsep hiperealitas itu sendiri. Dia mencoba memberi nyawa pada benda mati (pistol) dan membaurkannya pada realitas. Singkat ceritanya, dalam cerpen itu dikisahkan benda mati (pistol) yang digunakan oleh beberapa tokoh digunakan untuk membunuh satu sama lain. Tokoh-tokoh tersebut terkait satu-sama lain dengan cepat dan padat. Pistol itu berpindah tangan dengan mudahnya dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Benda yang identik dengan kematian dan hukuman itu berjalan-berpindah-berfungsi dengan latar dan setting cerita yang begitu cepat. Semua berpindah dengan mudah dan cepat, persis sifat dari hiper itu sendiri. Hingga kita (pembaca) tidak mampu memastikan letak atau esensi pistol itu sendiri. Segalanya telah berbaur.
Secara lebih luas, penulis dalam hal ini berusaha menghadirkan makna yang plural. Banyak ruang kosong yang terbentuk akibatnya. Ini murni sifat dari kebudayaan pikir dewasa ini, atau biasa disebut era millennial. Era millennial membuat segalanya berbaur, berpindah, beralih dengan sendirinya, tanpa pernah bisa disadari dan jalan cerita, konsep, ide, dan makna yang ada dalam cerpen Riwayat Sebuah Pistol mewakili itu semua.
Mulanya, pistol itu hadir secara tiba-tiba di suatu kafe, lalu berpindah tangan ke orang lain, lalu berpindah ke mahkluk lain (anjing), lalu berpindah ke anak kecil, lalu berpindah ke orang lain lagi, lalu berpindah ke seorang polisi, lalu berpindah ke sebuah keluarga, dan ternyata pistol itu di akhir kisah kembali ke tangan pertama. Semua latar dan setting dalam membangun cerita itu berganti dengan cepat. Hal itu bisa dilihat dari deskripsi setiap bagian yang cukup padat, tidak berbelit, dan pendek. Pembaca benar-benar diberi suguhan yang begitu cepat-silih berganti. Pembaca akan kesulitan menyaring atau menemukan representasi pistol itu sendiri. Saat hal semacam itu ditangkap sebagai suatu makna, yang tersisa adalah ekstasi. Lalu, ekstasi itu sendiri pada akhirnya akan menghasilkan citra dan efek. Yang dirayakan atas hal semacam itu bukanlah makna tetap, stabil, dan mapan, melainkan “pistol” itu sendiri yang mengalir dan membiak secara terus menerus dalam kecepatan tinggi. Itu adalah akhir dari ekstasi atau hiperealitas, dan penulis menghadirkan hal atau konsep semacam itu dalam alur ceritanya yang melingkar.
Pembaca cerpen Riwayat Sebuah Pistol benar-benar disuguhi sebuah ekstasi komunikasi yang tinggi, sangat khas budaya pikir postmodern. Ketika komunikasi semacam itu terjadi, pembaca akan digiring ke dalam pendangkalan bahasa, banalitas, dan simulacrum, yaitu lebih diutamakannya efek-efek permukaan dan provokasi bahasa, ketimbang makna, tujuan dan kebenaran. Kita dapat melihatnya dalam peran pistol itu sendiri. Begitu mudahnya pistol itu berpindah dan beralih dan berfungsi, hingga anak kecil yang secara nalar realita tidak mungkin bisa menjangkaunya, dengan mudahnya menggunakan benda itu, apalagi seekor anjing (dalam cerita itu, anjing juga berperan dalam peralihan pistol). Itu salah satu bukti bahwa makna pistol itu sendiri sudah hilang dan berganti. Selain itu, jalan cerita yang cepat membuat dan menciptakan ruang kosong yang berlimpah. Pada ruang kosong itulah pembaca akan masuk dan membuat kesimpulannya sendiri berdasarkan citra dan efek atas ekstasi yang diperolehnya.
Hingga pada akhirnya, dipungkiri atau tidak, saat membaca cerpen Aris Rahman Riwayat Sebuah Pistol, kita akan masuk ke dalam kematian makna dan perjalanan waktu yang hiper. Ekstasi akan dikonsumsi secara telanjang oleh pembaca. Seperti yang ditulis Ribut Wiyoto dalam tulisannya, bahwa segala yang berbau hiperealitas dan simulacra hanya akan berujung pada kematian. Kita diajak untuk mati, secara langsung ataupun tidak. Sebab, citra dan efek cerita itu adalah kematian.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”