Wanita Klasik


Di depan televisi aku menyaksikan adegan drama yang penuh dengan kemesrahan. Dua bintang yang sedang naik daun sedang beradu mesra,gesture tubuhnya sangat merasuk ke dalam hati,gemulai penuh dengan pengkhayatan. Lakon pria itu nampak girang dengan lawan mainnya,pemeran wanitanya seakan dilahap habis tanpa sisa. Dekapan dan pelukan yang tertuang terasa penuh makna, erat, tak ingin lepas. Ditambah lagi isak tangis sang Gadis yang mengerang. Aku yang menyaksikannnya merasa terbawa ke dalam suasana, hanyut ke dalam irama yang romantis. Saat itu malam, hawa dingin semakin membuat aku tenggelam ke dalam alur cengkrama drama. Lakon pria itu sungguh tampan dan penuh dengan kharisma. Wajahnya yang sedikit dipenuhi rambut-rambut lembut menandakan ia lelaki sejati. Seperti sosok yang selalu aku idam-idamkan sebagai pendamping hidup.

Di rumah ini aku sendiri, tiada yang menemani, benar-benar sendiri. Suasana sendiri inilah yang sebenarnya menghipnotis imajiku akan drama di televisi. Teman sejati tinggallah secangkir minumann susu hangat-tiada lagi. Lampu rumah seperti biasa, aku matikan untuk mendukung jalannya suasana. Seketika rumah ini aku sulap menjadi panggung teater modern(bioskop). Gelap-gulita,hanya cahaya dari televisi  yang menjadi sumber penerang. Dentuman musik dari televisi sengaja aku kencangkan. Dalam kesendirian ini tidak mungkin ada yang protes mengenai suara yang terdengar. Dunia seakan menjadi milikku,terasa bebas untuk menciptakan suasana hati,sudah lama aku tidak menemukan orang yang bisa menentangku.
Detik di dinding itu menunjukkan malam sudah berada di tengah, namun mataku masih dan tetap fokus menyaksikan kedua lakon itu beradu, sesekali susu coklat hangat aku seruput untuk menambah kehangatan suasana.
Aku dari dulu memang menyukai serial drama. Intrik-intrik dalam drama selalu bisa membuat air mata menetes. Aku cukup lemah dalam hal ini, perasaan dan suasana hatimudah terbawa. Walaupun yang aku rasakan tidak nyata, tetapi semuanya dapat menghanyutkan. Pernah suatu saat pipih dan wajah ini basah dengan air mata, saat itu suasana serial drama yang disajikan sangat menyentuh hati. Kalau sampai ada yang melihatnya, mungkin aku akan malu, mengingat usiaku yang sudah tidak mudah lagi. Andai pun benar terjadi, aku tak peduli, kalaupun perlu menangis ya, harus menangis.
Semakin hari rasa cinta pada serial drama semakin meradang. Kebiasaan itu bermula semenjak aku duduk di bangku SMA 20tahun yang lalu. Salah satu teman perempuan yang mengenalkanku pada serial drama. Semenjak saat itu, hati ini langsung jatuh sejatuh-jatuhnya terhadap acara melankolis dan semacamnya. Tidak perlu waktu lama untuk meciptakan sebuah candu, cukup membiasakan diri atasnya, itu yang aku lakukan. Sektika aku semakin jadi tergila-gila karena drama. Hidup ini perlahan menjelma menjadi penuh dengan obsesi terhadap lakon-lakon ternama, kebiasaan itu berlanjut sampai pada usia dewasa yang matang. Aku tidak bisa berbohong mengenai hal itu, ini benar terjadi, dan aku merasakannya dengan nyata.
Kini usiaku menginjak kepala 3 mendekati 4. Aku ditinggal pergi ayahku saat aku berumur 15tahun. Selang setahun sepeninggal ayahku, ibuku ikut pergi menyusulnya, pergi ke dunia yang tidak pernah bisa aku jamah. Aku dan adik laki-lakiku secara otomatis menjadi yatim piatu pada saat itu. Untungnya kekayaan orang tuaku cukup berlimpah, jadi kami tidak perlu bingung dan khawatir mengenai kebutuhan hidup kami. Bila hanya untuk mencukupi kebutuhan sekolah kami berdua hingga lulus SMA, warisan itu sudah lebih dari cukup. Bila kita bisa berhemat sedikit mungkin bisa ditekan sampai jenjang S1. Bukan hanya uang, Sebuah toko dan satu buah rumah yang lumayan besar merupakan salah satu warisan yang harus aku jaga dan manfaatkan.
Seiring berjalannya waktu, semenjak kami resmi menjadi yatim piatu, akupun mulai menjadi penanggung jawab atas adik laki-lakiku. Aku yang mengontrol semua warisan peninggalan orang tua. Adikku tidak pernah keberatan akan semua ini, ia mempercayakan semuanya kepadaku. Dia adik yang baik, hal itu yang membuatku mudah untuk mengurusnya.
Selepas lulus SMA aku memutuskan untuk meneruskan ke jenjang S1. Menjadi sarjana merupakan cita-citaku dari dulu. Dalam hal ini aku memilih untuk bekerja sambil kuliah. Aku berpikiran bila terus mengandalkan harta warisan kedepannya akan lebih sulit. Semua harus diimbangi, adikku mengerti itu. 4tahun aku menjalani profesi sebagai “ibu”, kakak, pekerja, dan mahasiswa. Semua itu aku lalui dengan nyaman tanpa ada masalah.
Kehidupanku yang sudah yatim piatu ini perlahan membuatku merasa sepi. Dalam benakku yang paling dalam, sebagai seorang wanita, aku sangat membutuhkaan sebuah belaian kasih sayang. Aku butuh teman curhat yang bisa mengerti aku dan mendukung aku. Aku berharap hal itu datangnya dari pihak keluarga, terutama orang tua dan saudara-saudara aku, tetapi semuanya hanya sebatas mimpi. Adik laki-lakiku, saudaraku satu-satunya, bukan tipe pendengar yang baik. Ia cenderung diam dan dingin terhadap diriku, begitupun juga aku. Aku juga terlalu dingin dalam memperlakukan adikku. Mungin sikap yang serupa ini adalah sikap keturunan. Ayah dan ibuku juga terkenal dengan sikapnya yang dingin. Itu sebabnya kami sudah terbiasa dengan sikap semacam itu, jadi semuanya terasa wajar-wajar saja.
Tak terasa hari sudah sangat larut. Drama itu ternyata sudah menemaniku hingga pukul 12malam. Rumah ini semakin nampak hening dan kosong. Tidak ada makhluk hidup disana, selain aku dan cicak yang merambat di dinding.
Serial drama ternyata sudah menjelma menjadi candu dalam hidupku. Ketika acaranya selesai, kegundahan hatiku kembali mencuat. Kesedihan dalam kesendirian seakan kembali datang dengan kekuatannya. Pada saat hal itu melanda, aku hanya bisa terbaring lemas di atas tempat tidur seorang diri. Terkadang aku benci dengan kenyataan ini, aku ingin keluar dan bebas. Dinding-dinding kamar seakan sudah bosan melihat rintihanku yang setiap waktunya selalu sama. Aku bingung kepada siapa lagi aku harus mengadu; Aku butuh seseorang yang hadir menemaniku disaat seperti sekarang ini. Belaian dan dekapan sangat aku harapkan kedatangannya. Dulu walaupun tidak sering, adik laki-lakiku yang selalu menemani kesendirian ini, namun semenjak ia ditugaskan di luar kota aku semakin tidak mempunyai teman untuk ngobrol malam. Hanya kasur dan bantal bergambar doraemon ini yang selalu menjadi pengusap air mataku.
Hampir di setiap malam aku seperti ini, keadaan ini seperti penjajah yang tidak pernah bisa aku usir keberadaannya. Semakin larut semuanya semakin menjadi-jadi. Hatiku semakin miris dan sedih. Pernah aku berpikir bahwa memang aku diciptakan untuk sendiri, dan kesendirian itulah takdirku.
Dalam usia yang sudah sangat matang ini, aku belum juga mendapatkan pasangan hidup. Hal itulah yang sebenarnya membuat aku sedih di setiap waktunya. Semenjak aku remaja, aku belum pernah dekat dengan seorang lelaki. Sikapku yang sangat dingin terhadap seseorang menjadi penyebab semua ini. Para lelaki cenderung kurang suka dengan model sikap yang seperti ini. Baik saat SMA maupun saat kuliah, semua lelaki cenderung bersikap sama terhadapku. Tidak banyak lelaki yang mendekatiku, bukan karena aku kurang menarik, melainkan karena sifatku yang dingin dan tertutup. Aku tahu kelemahanku dari dulu, tetapi entah kenapa aku tidak bisa keluar dari kelemahan itu. Pernah sekali ada lelaki yang tertarik denganku, tetapi itu tidak berlangsung lama. Ia pergi dengan alasan kelemahanku ini, ia bicara jujur atas apa yang ia rasakan selama denganku. Aku tak punya banyak kuasa untuk menahannya. Lelaki itu pergi meninggalkan bekas luka yang mendalam. Kenangan dengannya menjadi moment yang sulit untuk terukir kembali. Walaupun ia meninggalkan bekas luka, tetapi saat itu aku hanya mengganggapnya hal yang biasa. Mengingat saat itu aku masih muda dan karirku masih panjang. Aku berpikir masih banyak lelaki di luar sana yang akan menerima aku bersama keadaanku. Bisa dibilang saat itu aku jual mahal terhadap lelaki.
Detik berganti menit, hari berganti minggu, dan bulan berganti tahun. Semua telah berjalan dan berubah. Teman-teman seangkatanku satu persatu telah menjalin kehidupan baru, tetapi tidak denganku yang masih terpaku oleh kesendirian. Pernah rasa malu itu menghinggap dengan kuat-saat aku datang ke acara pernikahan sahabatku. Semua temanku datang dengan pasangannya masing-masing. Aku yang hanya datang seorang diri merasa malu bukan main, semua terasa klimaks. Aku seperti barang yang tak kunjung laku dan akan segera kadaluarsa. Rasa malu itu memuncak ketika salah seorang teman menanyakan perihal pasangan terhadapku. Aku tak punya jawaban yang pantas, Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Aku tidak cukup banyak alasan dalam hal ini, hanya senyuman manis yang bisa aku lukiskan saat itu, mengingat kenyataanya memang sulit untuk dihindari. Mulai saat itu, menghadiri acara yang berbau reunian atau temu kangen sangat aku benci. Aku tak kuasa menahan suasana yang akan terjadi. Aku tahu, bawasannya aku belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang serupa.
Aku yang mulai semakin tertutup dengan teman-temanku membuat aku semakin sengsara. Aku seperti hidup seorang diri diantara keaneragaman bentuk. Tiada teman yang menemani. Para sahabat sudah sibuk dengan peran baru mereka sebagai ibu dan orang tua. Terkadang aku benci dengan diriku sendiri. Kenapa aku mempunyai sikap seperti ini, sebuah sikap yang sangat menyiksa bagi kaum wanita sepertiku.
Di setiap waktu kesedihan itu semakin meradang. Seperti halnya penyakit yang tak kunjung terobati. Di tempat kerjapun aku merasakan hal yang serupa. Sering aku dengar omongan-omongan yang tak enak menyapa gendang telinga. Sebuah omongan yang menyindir kesendirian ini. Saat aku mendengar berita-berita mengenai itu, hatiku sedih bukan main. Mereka manusia yang berhati seakan tega dengan kondisiku yang seperti ini. Mereka tidak memberikan pertolongan, tetapi justru semakin membuat aku sengsara dan merana. Batinku seakan terkoyak dengan obrolan-obrolan miring mereka. Dalam benak mereka sebenarnya menertawakan diriku, hanya saja mereka sedikit mengaburkan maksudnya. Walaupun mereka berusaha menyembunyikan maksudnya, tetapi bawasannya aku mengetahuinya dengan jelas. Terutama kaum lelaki yang tidak pernah mengerti maksud dan hati seorang perempuan seperti aku. Namun, aku tak pernah bisa marah. Ketika aku marah, semua akan semakin  menertawakanku. Aku hanya bisa menikmati ini dengan topeng senyuman.
Dalam benakku yang paling dalam, aku iri dengan orang yang berada diatas pelaminan. Duduk berdua dengan orang yang dicintainya. Iri melihat seorang wanita yang dipanggil ibu oleh anak-anaknya, iri dengan wanita yang mulai menyusui bayinya, dan iri dengan wanita yang dicium tangannya oleh anaknya untuk berpamitan. Hidup ini pernah kurasa tidak adil, tetapi semuanya percuma. Takdir tidak pernah bisa dihindari. Takdir ada hanya untuk dinikmati dan dipelajari. Bila aku mempermasalahkan keadilan dalam hidup ini, yang pantas aku salahkan adalah Tuhan, tetapi apa pantas aku melakukan itu sebagai mahkluk yang berakal. Relakanlah saja ini, bawasannya semua  yang terbaik, terbaik untuk kita semua dan bergeraklah untuk menang.
Setiap harinya kesibukanku hanya bekerja. Bangun pagi-pulang sore aku jalani seorang diri. Tidak ada seorang yang mengingatkan dan memperhatikan kegiatanku. “Sudah makan apa belum, hati-hati ya...” sebuah pernyataan yang tidak pernah aku dapatkan. Aku ingin hal semacam itu melandaku. Aku ingin semua itu, karena aku butuh hal semacam itu. Pundi-pundi rupiah seakan tidak pernah bernilai di mataku. Uang-uang itu hanya aku tumpuk tanpa pernah aku tengok. Karena percuma, hal itu tidak pernah bisa membantu. Kebahagian dunia berupa kasih dan sayang tidak pernah bisa aku dapatkan, walaupun alat penguasa dunia ada di genggamanku. Uang-uangku terasa palsu tidak berguna. Bila ada pertanyaan “Apa itu kekasih?” aku hanya bisa menjawab: “Aku belum punya.”  Terus,“Apa itu cinta?” aku hanya bisa menjawab: “Aku belum merasakannya.” Lalu, “Apa itu kebahagiaan?” aku hanya bisa menjawab: “Aku tidak pernah mengenalnya.” Pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang sederhana itu tidak pernah aku tahu jawabannya. Padahal usiaku seharusnya sudah mempunyai jawaban yang pantas dan bijak, tetapi entahlah. Perjalanan hidupku belum pernah menceritakannya. Berbohongpun percuma, hal itu hanya akan menambah kesedihan.
Waktu di seluler mengharuskanku untuk segera tidur, mengingat kegiatan yang membosankan telah menungguku di pagi hari. Dalam mimpi mungkin semuanya akan indah dan berbeda. Disana mungkin aku bisa berjalan bertiga dengan suami dan anakku. Menyisiri taman bunga yang penuh warna-saling menatap bahagia, menari, menyanyi dan bercengkrama dengan riang gembira. Senyum dan tawa terjalin bersama, menikmati aroma yang semerbak. Di dalam mimpi semua itu bisa saja terjadi. Aku selalu berharap begitulah akhir dari semuanya.
Sebelum tidur aku selalu berdoa, “Tuhan, dekatkanlah jodohku karena aku percaya dengan janjiMu atas pasangan makhluk-makhlukMu, Amin.”
Ketika aku terbangun, aku selalu berharap bahwa Tuhan sudah mengabulkan doaku, dan saat aku mulai membuka pintu, ada lelaki seperti lakon di drama yang bilang “Aku mencintaimu, maukah kau menikah denganku?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”