Di Samping Sakura
Waktu
sudah tengah malam, darah itu akan menetes dan ditampung dalam sebuah gelas
kaca ukuran 25ml. Darah itu diperas seorang diri. Hanya dibantu oleh silet yang
masih bersegel, darah itu menetes secara pelan dan pasti. Ikol hanya memejam
dan sesekali akan melihat darahnya menetes memenuhi gelas kaca itu. Perempuan
itu akan tersenyum kecil begitu rasa nyeri dan pedih menjalar ke seluruh
tubuhnya. Bola matanya menari melihat tetesan darah itu, nyengir
Perempuan yang selalu memakai jepit di rambutnya itu tidak
akan memberi ampun pada lengan tangannya ataupun bagian tubuh yang lainnya.
Suatu malam, bahkan dia ingin menggores kantung matanya. Sejak dia jatuh cinta
dengan laki-laki itu, jam tidurnya berkurang. Sering melamun sepanjang malam
hingga matanya bengkak dan kantung matanya menghitam. Dia bosan menangis, ingin
sekali memejam dengan nyenyak, tetap saja gagal. Dia terus melamun sepanjang
malam. Terbesit keinginan untuk mencongkel mata lelahnya tetapi hal itu gagal
terlaksana. Perempuan itu kurang berani begitu membayangkan kantung mata itu
robek, dan matanya bisa saja copot, menggelinding dan dimakan tikus. Dia masih
belum berani.
Silet itu akan mencari letak bagian tubuh yang tepat dan
segar. Seperti seorang komando, silet itu menuntun tangan Ikol untuk mulai
menggores. Tidak ada perasaan gentar sedikit pun. Ikol bahkan tersenyum melihat
tetesan darah dari lengannya perlahan memenuhi gelas kaca 25ml itu. Senyum itu
bercampur dengan perih. Pada tetesan pertama dan terakhir, lidahnya akan
mencicipi cairan anyir itu. Seketika gelora kenikmatan langsung menjalar ke
seluruh tubuhnya. Merasakan cairan anyir itu, Ikol ingat perkataan temannya
dulu bahwa darah manusia itu rasanya
segar, itu sebabnya pertumpahan darah selalu menjadi tontonan yang asik.
Mengingat hal itu, senyum perempuan itu semakin dalam.
Di halaman belakang rumah, di samping sakura, gelas kaca itu
akan menumpahkan isinya. Selain itu, di batang sakura itu akan digores menyerupai
alir. Lalu, sebagian darah dalam botol kaca 25ml itu akan dituangkan ke alir
pada batang sakura itu. Darah itu akan bergerak turun mengikuti alirnya. Sambil
tertawa kecil, Ikol melakukannya seorang diri, merayakan kemenangan.
Ritual berdarah itu dilakukan di tengah malam saat semua orang
terlelap. Dia tidak ingin orang lain mendengar rintihannya saat silet tajam itu
mengiris tipis lengannya. Ikol tidak mau itu. Biarkan rintihan ini didengar
Tuhan, katanya. Sebab hanya Tuhan yang bisa menyelesaikan masalahnya.
Selepas menumpahkan darahnya sendiri di samping sakura, persis
seperti orang menyiram tanaman, Ikol langsung mencari perban, alkohol, dan obat
merah. Tidak butuh dokter seperti para pesakitan pada umumnya, Ikol akan membebat
lengannya seorang diri. Dia hanya perlu menggunakan bantuan giginya untuk
menarik salah satu ujung perban selesai dililitkan di lengannya. Selebihnya,
dia akan terduduk lemas di samping sakura. Menikmati sisa-sisa perih lukanya
sambil membayangkan laki-laki yang selalu mendekapnya, dalam.
Bila obat merah tidak mampu menutup luka itu dan menghentikan
kucuran darahnya, Ikol akan ke dapur mencari jeruk nipis. Dia akan mengiris
jeruk nipis itu dengan sempurna, agar air jeruk itu keluar dengan pas.
Diteteskan secara perlahan, tepat di lengan bekas irisan silet itu. Tetesan
jeruk itu akan membuat Ikol memejam lebih dalam. Perih yang tak tertangguhkan.
Pedih yang membinasakan. Perempuan yang bekerja di pabrik sepatu itu sekali
lagi hanya bisa merintih, dalam. Dia tidak akan berteriak atau pun minta
tolong.
***
Sakura
itu diperolehnya sejak masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Waktu itu pelajaran
praktikum biologi. Membedah tumbuhan, memelajari nama sel, dan
bagian-bagiannya. Mulanya Ikol ingin didampingi sang ayah untuk membeli
tanaman. Tetapi sang ayah menolak karena suatu urusan, akhirnya Ikol pergi
bersama keponakan laki-lakinya. Awalnya keponakan itu akan membelikan melati
atau tanaman hias lainnya, tetapi waktu itu Ikol menyukai warna merah muda, dan
di bakul tanaman hias itu terlihat sakura di antara melati putih. Saat
keponakan itu sibuk menawar, Ikol langsung mengambil sakura itu. Ukuran pot
yang tidak terlalu besar dan berat memudahkan Ikol membawanya. Aku beli ini saja, katanya. Keponakan
itu sempat bingung, dia sama seperti orang pada umumnya, tidak tahu nama-nama
tanaman. Yang dia tahu hanya nama tanaman-tanaman populer. Selebihnya dia tidak
tahu.
“Itu tanaman apa?” tanyanya.
Ikol mengangkat bahunya. Dia hanya bilang aku mau beli ini.
Melalui negosiasi yang ketat, tanaman itu berhasil dibawa
pulang dan keesokan harinya Ikol menunjukkan kepada teman-teman sekolahnya, dan
teman-temannya langsung kagum dengan warna bunga tanaman itu. Ini namanya sakura, kata Ikol menjawab
pertanyaan teman-temannya. Sejak saat itu Ikol jatuh cinta dengan tanaman itu.
***
Darah
itu harus segera menetes, Ikol tidak pernah telat untuk hal ini. Saat menunggu
waktu ritualnya, Ikol biasanya duduk di samping sakura, melihat daun-daun
sakura menari diterpa sepoi malam. Begitu waktunya tiba, silet dan tangan Ikol
akan bekerja sama, menggores lengan putih itu dengan tekanan yang pas. Pertama,
Ikol akan membuka perbannya yang kemarin. Dia akan mengendus luka itu. Saking
seringnya, Ikol sudah bisa membedakan luka lama dan baru berdasarkan aromanya.
Bagi perempuan yang selalu menggunakan jam tangan itu, aroma luka manusia
selalu berbeda. Bila hidungnya tidak mampu atau sedang mengalami kendala, Ikol
akan menggunakan indera pengecapnya. Lalu, bila bekas luka yang kemarin sudah
kering, Ikol akan menyayat kulit di dekat luka yang kering itu. Baginya,
memberi luka di dekat bagian yang sudah kering nikmatnya luar biasa. Kalian tidak
akan pernah tahu.
Ikol melihat kulitnya yang putih mengeluarkan darah. Sesekali
Ikol akan menjilat darah itu. Wajah Ikol mulai memucat seiring darah segar itu
keluar dan menetes. Gelas kaca 25ml akan menampungnya. Inikah rasanya mencintaimu?
Suatu malam, Ikol memeras darahnya dalam jumlah yang banyak.
Gelas kaca 25ml yang biasa dibuat menampung tetesan darah itu tidak cukup,
sehingga darah itu dibiarkannya tumpah membasahi tanah di sekitarnya. Wajahnya
kala itu sudah benar-benar seperti
mayat. Setengah sadar, bayangan lelaki yang sangat dikenalnya melintas,
ingin menariknya, menyeretnya. Ikol ingin ikut, dia mencoba berdiri dan ingin
memeluknya, tetapi tubuhnya benar-benar lemas. Lengannya tiada henti
mengeluarkan darah. Silet itu menggores terlalu dalam, Ikol yang
mengizinkannya.
Saat bayangan lelaki itu menguat, seakan nyata, Ikol merasa
tak mampu menjangkaunya, silet itu semakin ditekannya dalam. Ach…
Jantung Ikol mulai merendah, matanya sayup, lalu gelap.
***
Ikol
ditemukan tergeletak dalam keadaan pucat yang luar biasa. Tubuhnya begitu
dingin, Ikol tidak sadarkan diri sebelum akhirnya adik perempuannya membawanya
ke rumah sakit.
Sudah lama adik perempuan itu mengetahui ritual berdarah
kakaknya. Dengan mengendap, adik perempuan itu melihat kakaknya menggores
lengannya sendiri setiap malam. Awalnya adik perempuan itu kaget, dan berusaha
menghentikannya, tetapi Ikol mengancam akan menggores nadinya bila adik
perempuannya ikut campur. Adik perempuannya kala itu hanya menangis dan
membiarkan kakak perempuannya meringis menikmati lengannya yang robek. Sejak saat
itu, adek itu mencari tahu permasalahan kakaknya, dan lambat laun dia tahu
alasan kakaknya demikian. Sebagai adik, dia tidak bisa berbuat banyak, hanya
bisa menangis saat kakaknya merintih perih.
Begitu sadar, Ikol kembali nyengir. Dia meraba lukanya,
kembali nyengir. Mengapa aku belum mati juga, katanya.
Adik perempuannya seketika langsung menamparnya. Ikol tak
bergeming, dia semakin nyengir.
“Jangan teruskan tingkah konyolmu,” kata adiknya.
“Kamu tidak tahu.”
“Kalian tidak akan pernah bisa bersama, tolol!” bentak adiknya
sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu.
Ikol tertawa lepas. Aku
terlanjur cinta padanya.
***
Sudah
tidak ada yang bisa mencegah silet itu. Lelaki itu yang memulai. Dia datang di
tengah malam membawa kembang sakura. Ikol sendiri yang membuka pintu itu. Mereka
terlihat akrab, saling mengenal dengan dekat. Sorot mata keduanya yang
mengatakan itu. Begitu pintu itu dibuka, lelaki itu langsung memeluk Ikol,
dalam. Ikol menolak tubuh itu. Lelaki itu didorong.
“Kamu lihat ini, Mas, kamu lihat!” kata Ikol sambil menangis.
Bekas goresan silet itu diperlihatkan. Lengan itu sungguh
penuh dengan luka. Ikol memukul-mukul tubuh lelaki itu, dan lelaki itu hanya
diam di tempat menunduk. Kembang sakura itu masih dipegangnya.
“Hidup ini tidak adil, Mas. Kamu jahat, kamu jahat!”
Lelaki itu mencoba mendekap Ikol, kali ini Ikol takhluk.
Dekapan itu sungguh dalam, Ikol sulit bernapas. Sementara tangis masih
terdengar dalam rumah itu.
Hanya beberapa saat, Ikol langsung menjerit. Kita tak akan pernah bersama.
Lelaki itu seperti kemarin, gagal digapai dan dipeluknya.
Hanya meninggalkan kebang sakura yang jatuh.
***
Malam
itu, Ikol mengiris bagian lengannya dengan tepat. Silet itu ditekan begitu
dalam. Darah itu mengucur deras tiada henti. Kali ini dia tidak berniat
menampungnya pada gelas kaca 25ml. Darah itu dibiarkan tumpah begitu saja. Perlahan
Ikol lemas, dia tidak peduli. Silet itu semakin ditekan ke dalam. Dengan sisa
tenaganya, Ikol melangkah ke samping Sakura itu. Dia memeras lengannya, darah
itu benar-benar mengucur membasahi tanah-tanah di samping sakura itu. Ikol
perlahan memejam melihat darahnya habis, lalu dia tersenyum sebelum dia
menjilat darahnya sendiri. Biar sakura
ini yang menjadi saksi, sebab ini adalah pemberianmu.
Kini sakura itu ditiup angin saat
sore datang menerpa daun-daunnya. Adik perempuan itu duduk di kursi samping
sakura itu, memandangi daun-daun dan kembang sakura itu. Ini adalah musim saat
sakura bersemi. Sungguh indah dan berwarna, terasa teduh. Adik perempuan itu
menengadah ke langit. Ikol tersenyum di antara celah awan itu lalu turun
bersama lelaki yang dicintainya, mendarat di reranting sakura itu.
Kembang sakura itu jatuh, adik
perempuan itu memungutnya, lalu meniupnya. Adek perempuan itu mendekat ke
batang sakura itu. Masih tercium bau anyir darah manusia. Dilihatnya alir pada
batang sakura itu. Ada pahatan baru yang tertulis jelas, tertulis nama Ikol dan
nama seorang lelaki. Nama lelaki yang sangat dikenalnya. Dua insan itu masih
ada hubungan darah.
Dan
sekarang, sakura itu selalu menggugurkan bunganya saat musim semi, dan bau
anyir darah manusia tercium setiap kali angin meniup kembang yang jatuh itu. Sementara
pemiliknya telah lama pergi bersama-sama
Komentar
Posting Komentar