Mari Kita Undang Dewa ke Dalam Cyberspace


Menurut kamu, apa yang nggak diketahui google? Pertanyaan itu sangat menohok pengetahuan manusia abad millennium ini. Pertanyaan itu nongol di salah satu akun instagram Catatanstory. Bila pertanyaan itu diajukan kepada pembaca, kira-kira jawaban apa yang bisa diberikan pembaca? Mayoritas akan menampakkan kebingungan, nyengir, lalu pada akhirnya memberi jawaban yang cenderung aneh dan dangkal.
          Hal itu menunjukkan bahwa manusia sudah hampir sepenuhnya meyakini bahwa google telah mendekati kemahatahuan. Pernyataan itu tidak semena-mena terjadi. Secara realita materi-informasi, hal itu dibenarkan. Hampir semua kata kunci yang ditulis pada kolom pencarian google mampu dijawabnya dengan memberi berbagai macam referensi yang terkait. Mulai dari validitas informasi yang lemah sampai kuat, semua ditampilkan dalam kecepatan yang luar bisa. Hanya sepersekian detik, jutaan informasi langsung tersaji. Pengguna dengan mudah memilih informasi yang diinginkannya. Di era informasi seperti sekarang ini, digdaya yang dimiliki google telah mampu membius manusia. Seperti kehadiran mesin pendingin di negara tropis yang panas. Segala macam masalah mengenai hawa panas, kesejukan, dehidrasi, dan kesegaran langsung teratasi. Orang-orang tropis langsung beralih selera ke minuman dingin. Bagi mereka, kehadiran kulkas seperti sebuah “wahyu” yang mencerahkan. Sama seperti google yang mampu mengatasi kebutuhan informasi masyarakat millennium. Pemenuhan atas kebutuhan informasi ini menyebabkan kebergantungan pada diri manusia itu sendiri.
Saat kebergantungan terhadap suatu hal yang bersifat materi menjadi pola hidup, manusia secara tidak langsung telah menciptakan dewa-dewanya. Praktik keterkaitan antara kebutuhan dan dewa telah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Orang Mesir Kuno sejak 4000tahun yang lalu telah memuja dewa-dewa mereka. Mulai dari dewa matahari hingga sungai nil, semuanya telah menjadi bagian dari kegiatan spiritual masyarakat Mesir Kuno.  Kegiatan itu terjadi bukan karena hal-hal mistis keagamaan, melainkan ada unsur kebutuhan di dalamnya. Sungai nil menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat. Airnya mengaliri tanah-tanah mereka yang kering, memberi minum binatang ternak, dan juga menjadi kebutuhan pangan masyarakat setempat. Itu sebabnya, masyarakat Mesir Kuno menaruh kebergantungan hidup mereka pada sungai nil. Konsep keterkaitan antara kebutuhan dan dewa juga berlangsung di India. Masyarakat India memuja sapi. Mereka menganggap sapi adalah dewa. Sama seperti masyarakat Mesir Kuno yang mengganggap sungai nil adalah dewa. Masyarakat India juga menaruh kebergantungan hidup pada sapi. Sapi-sapi dijadikan hewan ternak, penggembur sawah, dan juga trasportasi. Kebergantungan hidup semacam itulah yang menciptakan dewa-dewa.
Permodelan Dewa-Dewa Modern
Sedangkan, masyarakat millennium, yang telah menjadikan informasi sebagai kebutuhan primer, secara tidak langsung telah menjadikan google sebagai dewa, seperti yang terjadi pada masyarakat Mesir Kuno dan India. Ada kebergantungan kebutuhan di dalamnya. Bayangkan, bila google tidak beroperasi selama beberapa menit, jam, hari, minggu, bulan, bahkan tahun, apakah aktifitas masyarakat millennium bisa berjalan? Apakah masyarakat millennium bisa mengonsumsi informasinya? Hal itu sama seperti yang terjadi di Mesir Kuno dan India. Saat sungai nil meluap, sapi-sapi malas, meninggal atau terserang wabah, masyarakat yang telah menaruh kebergantungan hidup padanya akan gelimpangan, sebagian panik. Sebab, di dalam sana ada kebutuhan yang harus dikonsumsi. Tidak ada perbedaan yang mendasar dari cara-cara praktik keterkaitan antara kebutuhan dan dewa. Saat manusia menaruh kebergantungan kepada sesuatu, saat itulah dewa-dewa itu tercipta. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia yang mengundang dewa-dewa itu hadir dalam kehidupannya. Saat hal itu berlangsung dan menjadi budaya, mungkin Tuhan akan “pensiun” dan digantikan oleh dewa-dewa baru yang macam dan jenisnya sangat beragam.
Kehidupan manusia telah berpindah dari realitas menuju virtual. Dari ruang nyata ke ruang maya (cyberspace). Hal itu dapat dilihat saat manusia lebih memilih berinteraksi dengan gadget mereka ketimbang manusia itu sendiri. Dalam wadah baru itu, beragam macam kebutuhan disajikan. Semua disajikan dengan permodelan yang beragam, variatif, dan cepat. Permodelan semacam itu memaksa manusia untuk mengonsumsinya sebagai suatu kebutuhan. Tidak bisa tidak, hal itu telah berlangsung. Cyberspace mengundang manusia untuk menemukan dewa-dewanya. Google hanyalah salah satu dari sekian dewa yang telah dibentuk. Bibit-bibit dewa telah menanti dan akan menggeser ruang gerak manusia itu sendiri. Dewa-dewa itu akan memenuhi kebutuhan manusia secara instan, lalu kebergantungan akan mulai terjalin, dan pada akhirnya manusia akan menasbihkan kedudukan dewanya sendiri di altar kebutuhannya. Manusia setiap harinya akan melakukan pemujaan yang akut, seperti halnya orang-orang Mesir Kuno dan India ribuan abad yang lalu. Pemujaan itu tidak lain adalah cara yang logis untuk melupakan Tuhan itu sendiri. Diyakini atau tidak, cyberspace menawarkan segala hal yang manusia millennium butuhkan. Seperti apa yang dikatakan Piliang, teknologi mulai dijadikan sebagai “alat pengingkaran Tuhan”, dan manusia kini merasa tak lagi “memerlukan” Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”