Pejam Laraku



Aku masih ingat sore itu, di bawah gerimis di daun jendela ada surat masuk entah dari mana. Aku merasa sangat mengenal ejaan pesan itu. Bukan merpati atau pun tukang pos bersepeda yang mengantarkannya padaku, melainkan sebuah masa lalu. Aku masih mengingatnya. Hingga sekarang, aku dekap dalam-dalam nama pengirim itu.
Setiap malam aku selalu membayang wajah tanpa tahu sosok. Semua terlukis begitu saja lewat kata, kalimat, dan berakhir dengan air mata. Kuas-kuas cat air tak pernah sampai pada titik akhir goresan. Semua terasa mengambang tak mampu mengejawantahkan. Pernah suatu malam aku berbiacara pada apa pun termasuk angin yang merembet dari celah pintu. Katanya, “Kau gagal melukiskannya walaupun kau bisa membayangkannya”. Mendengar itu, sempat ingin kulempar mulut daun pintu itu sebelum dia memilih untuk tidak meneruskan celotehannya.
Sebelum tidur aku selalu menyebut namanya. Hal itu semacam mantra untuk masuk ke dunia mimpi. Aku belum mengalami mimpi buruk semenjak percaya bahwa nama itu serupa mantra. Mantra khusus yang dibisikan Tuhan padaku. Kuucapkan berulangkali sampai aku terlelap dalam mimpi. Ingatan manusia cukup lemah untuk mengingat mimpinya. Jadi, begitu bangun, aku selalu menuliskan mimpiku di selembar kertas. Lalu siang harinya aku akan membacanya, sore hari aku akan mencoba menghafalnya, dan malam hari aku akan mengingatnya. Hal itu berlanjut sampai sekarang.
Hari ini sudah sampai pada judul yang ke 1.095.  Entah harus berhenti sampai kapan. Setiap hari aku selalu membaca mantra itu. Hasilnya, aku selalu mimpi indah. Sosok itu selalu hadir mengajakku bermain, menari, tertawa, dan menyanyi. Aku sampai hafal dengan lagu kesukaannya. Sangat sering dia meminta aku untuk menyanyikannya. Dengan alat musik seadanya, aku mencoba menurutinya. Walaupun aku tidak seberapa tahu apa yang sebenarnya aku nyanyikan, semuanya terasa mengalir dan terbang. Hal yang tidak bisa aku lupakan ialah dia selalu memberi aku hadiah senyum begitu lagu itu selesai. Pernah suatu waktu di dalam mimpi itu tidak kutemukan alat apapun untuk dijadikan pengiring. Dia merengek menyemangatiku. Lalu, dia menggunakan kedua tangannya untuk memulai segalanya. Dia mengiringi nyanyian itu dengan tepuk tangan, mataku berbinar, dia bahagia. Sejak saat itu aku meyakini bahwa selain membaca doa sebelum tidur, manusia perlu menyebut nama orang yang dicintainya.
Semua menjadi hilang ketika alaram berbunyi. Sebuah keadaan yang paling aku benci. Begitu alaram sialan itu berbunyi, bukan apa pun yang aku cari, melainkan selembar kertas dan alat tulis. Mimpi ini harus aku tulis agar tidak hilang. Manusia selalu kehilangan mimpinya sesaat setelah bangun tidur. Banyak mimpi-mimpi manusia yang tergantung tidak jelas entah di mana. Kebanyakan mereka enggan untuk mewujudkannya, entah lewat tulisan ataupun tindakan. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku. Mimpi ini harus dijaga dengan cara apa pun. Aku percaya hanya ini jalan untuk menemukanmu kembali.
Nama indah itu aku dapatkan di taman bermain pengadilan Agama 19tahun yang lalu. Saat aku diajak orang tuaku ke sidang perceraiannya. Waktu itu aku masih tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu ibuku menangis selepas orang bertopi itu mengetuk palu.
Sebelum masuk ke ruang sidang itu, aku memilih bermain di taman samping pengadilan agama. Taman bermain itu sepi, hanya aku seorang diri ditemani siput kecil yang sedang menempel di samping tiang ayunan. Aku masih mengingatnya bagaimana siput itu merambat pelan. Tidak lama kemudian, datang anak kecil. Dia langsung mengajakku bermain bersama. Aku pun sangat senang. Kita langsung bermain bersama, saling mengayun dan jatuh ke perosotan. Semuanya terasa cepat dan singkat. Ibuku memanggil, aku harus ke sana. Aku masih ingat, anak kecil itu sempat mengulurkan tangannya dan mengatakan sebuah nama sebelum aku pergi. Selain itu, ada kalimat yang sempat dikatakannya. Aku mendengarnya dengan jelas. “Jangan pergi. Aku tidak memunyai siapa-siapa lagi,” katanya. Aku tidak sebegitu paham mengenai maksudnya, tetapi aku mengingatnya.

Begitu selesai palu pengadilan itu diketuk, aku melihat ibu memang menangis. Entah apa alasannya, aku tidak tahu, waktu itu aku juga ikut menangis. Sementara aku melihat ayahku langsung pergi begitu saja. Dia seolah-olah tidak mengenaliku. Aku sempat mengejarnya, tetapi lenganku langsung ditarik oleh ibu. Bayangan ayahku perlahan kabur, pergi menghilang, hingga sekarang aku tidak pernah melihatnya lagi. Kata ibu sewaktu aku tanya, ayah sudah mati dengan perempuan lain.
Sebelum meninggalkan tempat yang membuat ibuku menangis dan ayahku mati itu, aku meminta untuk pergi ke taman bermain dulu. Di sana, tidak kutemukan siapapun selain siput yang masih setia di tempatnya. Walaupun dia tidak memunyai siapa-siapa, setidaknya aku harus mengucapkan selamat tinggal padanya. Ternyata dia tidak ada. Aku hanya mengingat namanya. Sejak hari itu nama itu melekat pada ingatanku dan menjelma menjadi mantra.
Kini aku merindukan nama itu. Sebuah perasaan yang tidak mungkin bisa aku pungkiri bahwa aku mencintai nama itu, mungkin termasuk pemiliknya. Aku jatuh cinta pada orang yang kutemui 19tahun yang lalu. Sangat lama sekali untuk sebuah perasaan bisa tumbuh dan bertahan. Mungkin cinta ini tanpa alasan dan terdengar lucu. Bagiku, tanpa alasan itu perlu dalam cinta, sebab cinta yang menjadikan alasan sebagai landasan hanyalah keinginan belaka.
Hanya nama itu yang aku ingat, aku ingin bertemu dengan pemiliknya dan mengatakan perasaanku. Entah aku akan ditampar atau diabaikan, yang jelas aku hanya ingin tahu bahwa aku jatuh cinta padanya tanpa alasan. 19 tahun nama itu berpendar di kepalaku. Saat aku bercerita pada sahabatku, mereka selalu bilang aku bodoh dan mereka langsung tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan mereka menyuruhku untuk mencari pemilik nama itu di dinas perlindungan anak atau menyebarkan brosur orang hilang atau orang dicari. Sejak saat itu aku sudah tidak percaya lagi dengan logika manusia. Mereka cenderung menggunakan logika ketimbang perasaan.
Entah apa sebutan untuk model cinta seperti ini. Aku mencintai seseorang hanya dalam waktu tidak kurang dari satu jam dan aku hanya mengetahui namanya. Itu pun terjadi 19tahun yang lalu. Sungguh terdengar aneh. Tetapi memang itu yang aku rasakan. Bahkan sekarang aku benar-benar jatuh cinta pada nama itu. Awalnya aku selalu mengingatnya, lambat laun aku mulai mencarinya, hingga sekarang aku jatuh cinta padanya. Mirisnya, aku hanya satu kali melihat pemilik nama itu.
Aku yang hanya memiliki seorang ibu selepas ayahku mati sangat merasa kesepian. Semakin aku merasa sepi, semakin aku merasa ingin menemui nama itu. Rasa sepi dalam hidupku memuncak ketika suatu malam aku mendengar suara orang jatuh. Setelah aku lihat, ternyata ibuku jatuh di kamar mandi. Aku langsung bergegas menolongnya. Kepalanya membentur ubin. Ibuku tak sadarkan diri. Kulihat sudah banyak darah yang keluar. Aku langsung membawanya ke rumah sakit. Ruang UGD langsung menjadi rujukan dokter. Dengan cemas aku menunggu laporan pemeriksaan ibuku. Sekitar 45menit, salah seorang dokter menghampirikuu. Wajahnya lesu, ia mengucapkan maaf. Aku langsung menangis tak percaya dan segera berlari ke ruang UGD. Di sana, ibuku sudah bertutup kain putih. Semua menghilang dan pergi begitu cepat. Selepas banjir air mata, aku langsung ingat kata anak di taman itu, bahwa ia tidak memunyai siapa-siapa, dan sekarang aku merasakannya.
Setelah 7hari berlalu, ibuku sudah damai dan aku masih merindu. Aku berencana mengemasi semua barang ibu, apapun itu. Aku ingin menyimpannya dalam kardus sebagai kenangan yang indah antara aku dan kasih sayangnya. Begitu aku membuka lemarinya, di tumpukan paling bawah bajunya ada selembar foto. Aku mengambilnya. Air mataku menetes. Dalam foto itu ada foto ayahku dengan seorang perempuan berkuncir sedang menggendong anak perempuan. Aku tidak mengenal sosok perempuan itu, tetapi aku mengenal sosok anak perempuan yang digendong ayahku. Aku masih mengingatnya. Sangat mengingatnya. Nama anak perempuan itu selalu aku baca sebelum tidur. Eka Millenia, sebuah mantra menuju mimpi indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”