Kegagalan Gender dalam Wanita Karir
Banyak kalangan yang masih belum
mengetahui pengertian dari gender. Sebagian besar kalangan saat diberi
pertanyaan apa itu gender? Mayoritas jawaban yang diperoleh adalah jenis
kelamin; laki-laki dan perempuan. Jawaban semacam itu terlalu sempit, bahkan akan
memengaruhi esensi dari gender itu sendiri. Jika ditarik secara definisi,
gender itu ialah pengertian mengenai
sebuah peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi
laki-laki dan perempuan yang dikonsrtuksi secara sosial dalam masyarakat
(Wikipedia). Jadi, gender dalam hal ini bukan sebatas jenis kelamin atau
identitas seksual dari setiap individu, melainkan sebuah budaya atas kodrat
yang diterima. Dalam pengertian gender tersebut, dijelaskan adanya hal yang
lebih penting dan kompleks, yang meliputi: perilaku, peran, kegiatan, serta
atribut. Pengertian semacam ini akan mengarahkan kita pada pertanyaan yang
begitu mendasar seperti, apa perilaku, peran, kegiatan, serta atribut
dari seorang laki-laki atau perempuan? Pertanyaan semacam itu jelas
bukanlah pertanyaan yang mudah. Sebab, jawaban atas pertanyaan itu jelas
bersifat relatif dan kompleks. Tidak mungkin hanya mengacu pada satu
sosial-kultural suatu tempat saja, melainkan ada kejamakan jawaban atas hal
itu. Sifatnya yang relatif dan luas inilah yang sedang melanda pemahaman
masyarakat akhir-akhir ini.
Berbicara mengenai peran, kegiatan,
serta atribut atas laki-laki atau perempuan jelas cukuplah luas. Pembahasan
mengenai semua itu akan menghabiskan waktu yang banyak. Itu sebabnya, pembahasan
kali ini hanya mengacu pada unsur peran.
Peran dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) berarti perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang
yang berkedudukan dalam masyarakat. “Berkedudukan” dalam pengertian tersebut
bukan merujuk pada tingkat sosial, melainkan posisi gender (kelamin) itu
sendiri. Jika laki-laki, sudah seharusnya bertingkah atau berperan sebagai
laki-laki; Jika perempuan, sudah seharusnya bertingkah atau berperan sebagai
perempuan. Dua landasan dasar ini tidak bisa ditukarkan satu sama lain. Sebab,
fungsi dari kodrat manusia telah memunyai jalannya masing-masing. Karena fungsi
itulah laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi.
Kultur-sosial jawa menjadikan laki-laki
lebih sedikit dominan daripada perempuan, sedangkan kultur-sosial barat
menjadikan perempuan harus setara dengan laki-laki. Lantas, apa dalam hal ini
kultur-sosial jawa menunjukkan adanya ketidakadilan atau penyelewengan gender?
Di barat, upaya untuk mencapai kesetaraan
antara perempuan dengan laki-laki disebut dengan feminisme. Sebuah gerakan yang
mengusung kesetaraan gender dari perempuan atas dominasi (patriarki) laki-laki.
Gerakan inilah yang menjadikan kesan bahwa di barat subordinasi (kedudukan)
antara laki-laki dan perempuan menjadi setara. Upaya penyetaraan gender inilah
yang disebut dengan feminisme.
Secara garis besar, feminisme ada dua,
antara lain:
1.
Feminisme
Radikal
Feminisme radikal terkenal dengan analisis ketidaksetaraan
gendernya yang menekankan laki-laki sebagai sebuah kelompok dan sebagai
kelompok utama yang memperoleh keuntungan dari penindasan atas perempuan.
Sistem dominasi ini, dinamai patriarki (Walby, 1990). Lebih gampangnya, suatu
contoh, Jika laki-laki secara peran tidak memasak dan membersihkan rumah, dalam
hal ini adalah kebalikannya. Perempuan justru menyuruh atau memaksa laki-laki secara
tidak sadar untuk mengerjakan peran yang seharusnya dilakukan oleh perempuan.
Konsep keterbalikan inilah yang disebut gerakan perempuan (feminis) yang
radikal. Pemutar balikan konsep kedudukan yang sifatnya alami.
2.
Feminisme
Liberal
Feminisme Liberal lebih dikenal dengan
konsepnya yang terasa benar-benar setara. Tidak ada penindasan dari laki-laki,
tetapi unsur keinginan dalam tak sadar perempuan yang mengakibatkan adanya
gerakan liberal. Lebih gampangnya, suatu contoh, jika laki-laki merokok,
perempuan juga boleh merokok; jika laki-laki bermain bola, perempuan juga bermain
bola; dan masih banyak contoh lainnya. Apa pun bentuk peran yang dilakukan oleh
laki-laki, perempuan juga harus demikian. Itulah inti dari gerakan perempuan
(feminis) yang liberal .
Konsep peran semacam itu
(Radikal-Liberal) berkembang pesat dalam tradisi kultur-sosial di barat. Karena
efek dari penjajahan, konsep tersebut teradopsi dengan baik dan kuat di
Indonesia. Sehingga pencampuran kebudayaan tidak terelakkan lagi. Jika ditelaah
lebih dalam, sebenarnya kultur-sosial di Indonesia khususnya Jawa, kedudukan
antara laki-laki dan perempuan dapat dibilang telah pada tahap yang matang.
Perempuan Jawa sangat menjunjung tinggi sebuah perannya dalam masyarakat.
Mereka lebih menghargai kedudukan laki-laki ketimbang mempermasalahkannya.
Suatu contoh, perempuan jawa akan menundukan pandang di hadapan laki-laki,
perempuan jawa akan memperlakukan suaminya begitu mulia, perempuan jawa sangat
menjaga lisannya saat berbicara dengan siapa pun, dll. Begitu pun sebaliknya,
laki-laki jawa sangat menjunjung tinggi harkat martabat perempuannya, laki-laki
bertanggung jawab atas perempuannya, laki-laki tidak pantas mengasari
perempuan, dll. Contoh tersebut terlihat hampir di semua adat, budaya,
kebiasaan, dan pola hidup masyarakat Jawa. Apakah peran semacam itu dapat
dikatakan tidak setara? Jawabannya jelas tidak.
Inti dari ajaran kedudukan gender di
Jawa ialah diharuskannya perempuan menghargai laki-laki begitu pun sebaliknya.
Kematangan konsep ini justru dimanfaatkan oleh pihak penjajah untuk mengacaukan
tatanan kultur-sosial di Indonesia.
Sejak gerakan feminisme masuk di
Indonesia, banyak orang-orang khususnya perempuan merasa mendapat angin segar
ketertundukan dan kebebasan. Salah satunya lewat konsep wanita karir. Istilah
“wanita karir” mulai buming serta
merajalela sejak sistem kapital mulai mendapatkan tempat di negeri ini. “Wanita karir” menjelma menjadi wadah
pertunjukan bagi eksitensi perempuan. Padahal, bila ditelaah lebih dalam,
kedudukan wanita karir justru merusak citra wanita itu sendiri. Kodrat wanita
sebagai ibu yang memasak, menimang anak, berias untuk suami saja, serta
beranak, perlahan mulai hilang. Peran wanita karir tidak memungkinkan untuk
mengerjakan semua hal itu.
Dalam perhitungan yang sederhana,
sehari manusia hanya memiliki waktu 24jam. Waktu tidur manusia yang sehat
adalah sekitar 5-7jam/hari. Standar jam kerja di mayoritas Negara adalah
8jam/hari (tanpa lembur). Lalu, aktifitas di luar rumah, memungkinkan
menghabiskan waktu sekitar 2jam/hari. Jika ditotal, jumlah waktu yang sudah
pasti terpakai secara pasti oleh wanita karir kisaran 17jam. Jadi, waktu untuk
keluarga atau waktu untuk memerankan kodratnya sebagai perempuan hanya berkisar
8jam/hari. Jumlah tersebut hanya memungkinkan didapat di waktu malam. Sebab,
waktu potensial mereka (siang hari) sudah habis dibuat bekerja. Lebih
gampangnya lihat peritungan di bawah ini.
Jumlah waktu manusia
|
24jam/hari
|
Waktu tidur
|
7jam/hari
|
Bekerja
|
8jam/hari-tanpa lembur
|
Aktifitas di luar rumah
|
2jam/hari
|
Sisa
|
7jam/hari
|
Catatan:
1. Jumlah
sisa jam yang dimiliki wanita karir masih memungkinkan berkurang. Sebab,
perhitungan tersebut belum dikurangi jumlah jam istirahat karena lelah saat
bekerja; belum dikurangi jika ada jam lembur; dan juga kemungkinan lain
2. Jumlah
sisa jam di atas, hanya berdasarkan pemotongan yang sifatnya pasti dipakai
(semacam kerja, tidur, dan perjalanan).
3. Jumlah
sisa jam yang dimiliki wanita karir hanya memungkinkan didapatnya di waktu
malam. Rentan waktu antara pukul 18.00 - 21.00
dan 04.00 – 07.00
Berdasarkan perhitungan di atas, wanita
karir jelas tidak memungkinkan dirinya untuk berperan sebagai ibu rumah tangga.
Peran memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga anak, dan aktifitas rumah
lainnya jelas tidak mungkin bisa dijalankan. Saat hal itu terjadi, ketimpangan
peran justru akan terbentuk. Akibatnya, kasus-kasus kenakalan anak-anak,
kenakalan remaja, hingga salah pergaulan akan mulai bermunculan. Para anak dan remaja
yang seharusnya mendapat perhatian total dari seorang ibu secara langsung akan
tereduksi. Sebab, perempuan bersuami yang memilih menjadi wanita karir tidak memungkinkan
mereka untuk mengurus anak-anaknya secara total. Selain itu, yang memungkinkan
terjadi dalam wanita karir adalah kasus perceraian. Sebab, dalam hal ini seorang
perempuan sudah merasa memiliki penghasilan dan memungkinkan mereka untuk hidup
sendiri tanpa biaya hidup dari laki-laki. Saat hal itu terjadi, ketimpangan
peran dalam rumah tangga akan terjadi. Hal itu sangat memungkinkan terjadinya
keretakan rumah tangga atau perceraian.
Tidak bisa dipungkiri, bentuk gerakan
feminis (wanita karir) tersebut telah mampu mereduksi esensi perempuan itu
sendiri. Kenyataannya sudah jelas, bahwa masyarakat modern semakin membuat
perempuan menemukan jalan untuk bertindak malampaui kodratnya sebagai
perempuan. Itulah bukti penjajahan yang nyata dalam ruang gender. Perempuan
secara tidak sadar telah meninggalkan peran utamanya sendiri. Hal itu tetap
akan berkembang seiring berjalannya waktu selama tuntutan kemodernan masih
berlangsung.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Brooks, Ann.
2011.Posfeminisme dan Culture Studies.
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra
Stevie, Jackson dan Jones Jackie.2009. Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer. Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra
Tong,
Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Thought.
Yogyakarta: Jalasutra
Walby,
Sylvia. 2014. Teorisasi Patriarki.
Yogyakarta: Jalasutra
Komentar
Posting Komentar