Buah Ranum di Dada Santi




Tubuh indah  seperti lekuk gitar Spanyol, tetapi kalau bagian dadanya tidak dibungkus sama saja. Seperti menu restoran: tidak lengkap dan tak menarik. Itu yang pernah dikatakan Santi pada temannya dulu.
Semenjak sesuatu di bagian dadanya itu ranum, Santi sudah tahu dan memahami apa yang harus ia lakukan. Mula-mula ia memerhatikan orang-orang dewasa di sekitarnya. Hingga akhirnya ia menyimpulkan. Bagian yang menonjol itu harus dirawat dan pastinya diindahkan. Hal itu tercetus ketika ia melihat acara televise yang dibintangi artis Julia Paris.
“Aku tertarik seperti itu, suatu saat nanti.”
Sejak saat itulah Santi terobsesi akan mengindahkan hal ranum miliknya.
Ia mulai mencari-cari alamat penjual bungkus buah ranumnya. Tempat pertama yang ia datangi adalah pasar malam dekat rumahnya. Di pasar itu, ia ingat sewaktu kecil ibunya juga pernah mengajaknya untuk membeli bungkusan dada. Tetapi waktu itu ia tidak tahu ibunya sedang membeli apa. Yang ada dalam pikirannya waktu itu hanyalah bahwa ibunya membeli untuk keperluan rumah, lebih tepatnya takaran beras. Bentuknya yang cembung dan bervariasai serta warna-warni itulah yang membuat pikirannya demikian.
Hingga suatu ketika saat Santi benar-benar merasakan bahwa bagian dadanya tiba-tiba lambat laun mulai terasa sesak. Awalnya ia mengira bahwa ia harus mulai membeli baju baru. Baju ini kekecilan. Sudah tidak muat. Aku kan sudah besar. Santi meminta pada ibunya.
“Bu, belikan aku baju baru. Baju ini sudah sesak untukku. Terutama di bagian dada ini,” Santi menunjuk bagian dadanya dengan yakin. “Lihatlah, Bu. Sungguh terasa sesak.”
Ibu itu hanya tersenyum melihat anaknya mengatakan itu. “Lihatlah, Bu. Ini benar-benar terasa sesak. Bagian dada ini membuatku risih.”
“Bukan bajunya yang kekecilan, Nak.”
“Lalu?”
“Kamunya yang sudah tambah besar.”
“Maka dari itu, Bu. Bajunya sudah tidak muat.”
“Ya sudah, nanti ibu belikan yang ukurannya pas.”
Mendengar hal itu, Santi sungguh senang bukan main.
Hal itu terus berpendar dalam ingatannya, setiap saat. Ia selalu berharap ibunya membawa baju baru untukku.
Di hari ketiga selepas permintaan itu, ibu itu membawa baju beserta BH. Ia membelinya di pasar. Dan langsung memberikannya pada anaknya Santi. Saat menerimanya, Santi benar-benar senang bukan main. Ia langsung mencobanya, ia langsung mengaca di depan cermin. Tetapi tetap saja ada yang mengganjal.
“Ibu, apakah ini tidak terlalu besar,” katanya, “lagi-lagi ada masalah di bagian dada sini.”
Ibu itu mendekat dan mengambil BH yang dibelinya tadi. “Kalau ingin sesak dan pas, serta nyaman, kamu harus menggunakan ini,” terang ibunya. “Sini ibu bantu memakainya.”
Sejak saat itulah Santi benar-benar tahu bahwa buah ranum di dadanya itu adalah hal yang paling indah. Harus dirawat dan dijaga. Setidaknya itu yang dikatakan ibunya saat membantu memakaikan BH.
Menginjak usia dewasa, Santi mulai terobsesi untuk mengoleksi BH. Ia mulai mengoleksi segala bentuk ukuran dan model. Menurutnya, ukuran yang pas itu kalau enak dipandang orang. Tetapi tetap saja, ia belum menemukan ukuran yang pas. Dan Santi terus mencari.
Kebiasaan itu terbawa sampai masa kerjanya. Hampir sehabis gajian, ia selalu pergi ke mall, atau kalau tidak, pergi ke pasar, membeli BH. Dapat dibilang, Santi adalah kolektor BH. Julukan itu ia dapatkan sejak dari dulu. Sejak ia duduk di bangku SMA. Teman yang sering diajak Santi membeli BH membocorkan kebiasaan Santi itu pada seisi sekolah. Tetapi Santi justru gembira mendengar hal itu. Menurutnya, “Keindahan itu harus yang benar-benar bisa memuaskan pandangan.” Buah ranum di dada merupakan salah satu bentuk keindahan itu.
Semakin mencari, manusia akan semakin letih, sebab ia mengikuti keinginan, bukan kebutuhan. Itulah yang dirasakan Santi. Obsesinya memiliki BH yang pas dan bagus tak kunjung tuntas. Tetapi ia belum menunjukkan gelagat menyerah dan putus asa. Justru obsesinya semakin menggebu.
“Mungkin, BH bikinan orang luar negeri lebih memiliki ukuran dan bentuk model yang pas,” itu katanya pada salah satu teman karibnya.
Temannya bingung harus meresponnya seperti apa. Lebih tepatnya teman karib itu ingin tertawa, tetapi ia menjaga sikap. Orang yang sudah berkeyakinan penuh, tidak pantas untuk digoyahkan.
“Mungkin, San,” kata teman karib itu menyetujui. “Kamu bisa membeli BH import. Produk Amerika kelihatannya lebih bermutu dan memiliki bentuk-ukuran yang pas. Kamu pasti cocok,” tambahnya.
Santi hanya manggut-manggut. Dia benar-benar memikirkan gagasan itu.
Tidak memerlukan waktu lama. Hanya butuh waktu tidak kurang dari satu bulan, ia membelinya secara online. BH import pun akhirnya membungkus buah ranumnya. Ia mengaca, ia memutar-mutar tubuhnya. Memaju-mundurkan dadanya. Sesekali ia juga memegangi dan menggerayanginya. Di depan kaca itu ia tersenyum. Semakin lebar dan hampir tertawa. “Inilah ukuran yang pas dan berkualitas,” teriaknya seraya meremas-remas buah ranumnya. Mungkin dia sedang gemas saja.
BH import itu kini menjadi benda berharganya. Tidak peduli ia mengeluarkan uang dalam jumlah banyak. Yang penting kebutuhan batinnya terpenuhi. Bukankah itu yang dicari manusia?
Santi jauh lebih percaya diri saat berjalan. Seperti model-model Eropa, saat berjalan ia membusungkan dadanya agak sedikit ke depan. Sungguh akan memuaskan pemandangan. Itulah esensi keindahan menurutnya. “Keindahan itu memang harus dipandang. Dan harus dipandang dengan nuansa yang nikmat,” itu yang dikatakannya suatu ketika pada seorang laki-laki yang mengomentari dirinya. Mendengar hal itu, si laki-laki tidak berbicara banyak. Ia justru mengucap, “Alhamdulillah kalau begitu. Pertahankan, Mbak. Mantap.”
Kejadian itu membuat Santi berbangga diri. Aku sudah membuat orang mendapat pahala dengan setiap kali melihatku mengucap syukur.
Rasa cintanya pada BH import itu semakin tak terbendung. Obsesi selama ini seakan sudah terpuaskan. Santi benar-benar mengaguminya. Setiap malam, ia melepas BH itu, dipandanginya, ia menyentuhnya, meletakkannya di tempat yang aman dan mudah terlihat. “Ini memang pembungkus keindahan yang pas-luar biasa,” katanya.
Saat itu hari minggu. Kebanyakan para pekerja sedang libur. Begitu pun Santi. Dia jarang ke luar rumah di hari minggu. Baginya, liburan yang paling tepat adalah mengistirahatkan badan. Tetapi, kalau ada yang mengajaknya piknik, tetap saja ia tidak bisa menolak. Sebab, bagaimana pun Santi merupakan wanita Traveling holik.
Pintu itu ada yang mengetuk. Santi melangkah ke luar. Ia ingin menyambut tamu rumahnya. Saat membuka pintu, ia kaget. Ternyata yang datang adalah teman-teman akrabnya. Seketika mereka langsung berpelukan. Santi pun mempersilahkan masuk.
Mereka berbincang di ruang tamu. “Ayo, San, kita piknik!” ajak salah satu teman. Di ruang tamu itu ada 4 orang termasuk Santi.
Santi diam.
“Kenapa, San? Enak, saya yakin kamu tidak pernah ke sini. Ini tempat yang sedang trending topic. Kita bisa selfi-selfie bareng. Viewnya menarik. Pasti kamu puas.”
“Iya, San. Ayo!”
“Ayo, San!”
Santi hanya diam. Dia tidak bisa berkata. Dalam hatinya ia ingin sekali ikut. Tawaran yang benar-benar menggiurkan. “Maaf, aku tidak bisa,” katanya dengan berat hati.
“Kenapa? Bukankah ini hari libur? Apa ada kerjaan lembur? Ada janji? Atau bagaimana?”
“Tidak. Aku memang tidak bisa.”
“Tidak bisa karena apa?”
“BH-ku belum kering. Aku lupa mencucinya tadi malam. Jadi aku baru saja mencucinya. Pasti masih basah di jemuran.”
Ketiga teman Santi saling pandang. Mereka ingin tertawa, tetapi melihat Santi mengucapkannya dengan serius, mereka berfikir dua kali. Mereka hanya saling pandang.
“BH itu kesayanganku. Aku jauh lebih percaya diri saat memakainya. Aku tidak bisa pergi tanpa mengenakannya,” jelas Santi.
Ketiga teman Santi semakin saling pandang. “Kamu waras kan, San?”
Santi mengangguk. “Buah dada itu adalah keindahan, jadi kita harus mengusahakan agar buah dada itu enak dipandang mata.”
Untuk kali ini, semua teman Santi melepaskan ketawanya lebar-lebar.
Pemikiran yang aneh.
***

Tidak kesulitan bagi seorang Santi untuk mendapatkan lelaki idaman. Mungkin ia tinggal melentikkan jarinya. Kerja mapan, tubuh sexy, wajah cantik. Pokoknya komplit tanpa celah. Dan itu yang mengantarkannya ke kursi pelaminannya.
Ia mendapat jodoh laki-laki jawa tulen. Asli solo. Keturunan keraton. Den Bagus namanya. Ia merupakan teman Santi saat pelatihan kerja dulu di Solo. Seperti orang pada umumnya, berawal dari tatapan, mereka langsung menurunkannya ke hati hingga berakhir menjadi sepasang suami istri.
Besok, adalah hari pernikahan Santi. Segala sesuatunya telah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan matang. Ini harus sempurna. Den Bagus merupakan putra bontot. Jadi ini harus meriah, itu yang menjadi kesimpulan-rembuk antar keluarga waktu itu.
Undangan sudah disebar, makanan sudah dipesan, tenda sudah berdiri, penghulu sudah diboking, sanak keluarga-sahabat-tetangga-teman dekat sudah diberitahu. Besok hari pernikahan Santi. Betapa bahagianya ia menyongsong hari itu. Ditambah lagi, ia akan mendapat putra bontot keraton Solo. Den Bagus namanya.
Santi tidak sabar untuk hari esok. Ia mengaca pada cermin kamar itu, ia takut ada jerawat atau apalah melekat di wajahnya besok. Santi tidak ingin itu. Harus tampi optimal dan sempurna.
Beberapa menit ia berkaca, bayangan untuk memakai gaun pengantin melintas di pikirannya. Ia membayangkan betapa indahnya busana yang akan dikenakannya esok. Dalam bayanganya, busana pengantin itu akan menghiasi tubuh sexynya dengan cermat dan rapi. Santi membayangkan itu dengan senyum gembira. “Aku memang perempuan yang paling beruntung,” katanya.
Ternyata Santi tak sabar menunggu esok. Ia pergi ke kamar sebelah, ke tempat yang akan dijadikan ruang rias pengantin. Ia mencari busana yang akan dikenakannya esok. ketemu. Seketika ia dibuat kaget. Ia pandangi busana itu inci demi inci. Penuh payet dan manic-manik. Apa ini yang akan aku kenakan besok? Ia berlari ke luar kamar, membawa busana itu. Ada hal yang ingin ditanyakan kepada ibunya.
“Ibu, apa ini busana yang akan aku kenakan besok?”
Ibu itu mengangguk.
Santi kembali membolak-balik busana itu. Semakin Santi membolak-balik busana yang penuh payet dan manic-manik itu, sang ibu semakin bingung.
“Apa benar ini busana buat saya besok, Bu?”
“Benar, Nak,” jawab sang ibu. “Kenapa? Apa kekecilan?” tanyanya.
“Aku hanya bingung, Bu. Aku pernah melihat perempuan memakai busana semacam ini di acara pernikahannya. Dan aku melihat perempuan itu tidak memerlukan BH.”
“?????!!!!?????” Sang ibu semakin bingung. “Lalu hubungannya apa?”
“Besok hari bahagiaku, Bu. Keindahan yang aku miliki harus benar-benar aku perilhatkan pada para tamu. Aku tidak bisa menikah kalau tidak memakai BH, itu keindahanku.”
Ibu itu heran dan tak habis pikir. “Mungkin besok kamu lebih memilih menggunakan BH saja ketimbang berbusana rapi.”


Biodata
Nama saya Dwi alfian bahri, sekarangsaya sedang menjalani studi di Universitas PGRI Adi Buana (UNIPA) Surabaya Fakultas Pendidikan Bahasa dan sastra indonesia. Sering mengikuti lomba-lomba menulis di berbagai kesempatan, itung-itung mengisi waktu luang. Saya lahir di Surabaya 29 april 1993 dan saya bertempat tinggal di kawasan Surabaya Utara, bila berminat menambah teman bisa hubungi saya di 085606664447 atau di email saya: wardaalhusna@yahoo.com. Terimakasih

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”