Perempuan dalam Ekstasi Komunikasi
Kehidupan manusia awal abad
21 ini tidak bisa dilepaskan dari teknologi informasi dan komuniakasi (TIK).
Bahkan, informasi itu sendiri sudah menjadi konsumsi wajib di setiap waktunya.
Mulai bangun pagi, hingga menjelang tidur, manusia mengonsumsi informasi secara
rutin. Dulu, kita berlomba-lomba mencari informasi. Sifatnya yang sangat sulit
terjangkau menjadikan informasi itu sangat penting dan berharga. Masa itu telah
lewat. Sekarang, informasi itu hadir dalam keberlebihan, keberlimpahan, dan
keberagaman. Informasi kini hadir seperti udara dalam kehidupan ini, begitu
kuat, banyak, pokok, namun receh.
Perkembangan TIK luar biasa
pesat ketimbang intelektual manusia itu sendiri. Dua hal itu berjalan tidak
berdampingan, meskipun TIK adalah hasil dari buatan Manusia. TIK pada dewasa
ini menghasilkan hal yang sangat berlebihan, terutama produk informasinya.
Keberlebihan itulah yang pada akhirnya mampu mengontrol, mengendalikan,
merangsang, membujuk, merayu, mengekploitasi pelakunya.
Jika ditelaah lebih dalam, keberlebihan
informasi inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan utama dalam perkembangan
peradaban manusia. Dalam hal ini, Baudrillard menyebutnya ekstasi teknologi.
Teknologi informasi
semestinya sebagai sarana telekomunikasi yang mudah dan telah melipat jarak dan
waktu, menjadi sarana yang menyehatkan akal pikiran. Namun, ini sebaliknya.
Anda mungkin sering
mendengar istilah gaul: “GAPTEK” (gagap teknologi). Istilah itu sebenarnya
menggambarkan kondisi di mana pemakai teknologi mengalami kaget dalam menerima
kehadiran teknologi. Akan tetapi, oleh kuasa bahasa gaul, GAPTEK diubah menjadi
kondisi di mana orang tidak dapat mengoperasikan sebuah teknologi. Dikatakan
demikian dan secara kejam ditambah lagi dengan julukan ketinggalan zaman. Tanda
penguasaan akan suatu teknologi ini, akhirnya menjadi arogansi massa yang
selalu melibatkan sarana labelisasi dan stigmatisasi kepada orang yang tidak
dapat mengakses sarana teknologi.
Orang dipaksa menceburkan
dirinya dalam lautan tekonologis yang sebenarnya ia belum melihat pentingnya
sarana itu untuk dirinya. Proses pemaksaan inilah yang nantinya secara lambat
laun, dengan memanfaatkan faktor kejiwaan akan mampu mempengaruhi. Inilah yang
disebut dengan ekstasi teknologi oleh Baudrillard.
Pemaksaan karena
keberlebihan itulah yang nantinya bakal menggerus manusia ke dalam penghancuran
diri. Manusia pada akhirnya akan mau-tidak mau harus mengonsumsi teknologi itu
sendiri, entah dalam kesiapan ataupun tidak. Pemaksaan ini berlangsung tanpa
pernah ada kesadaran. Semua berjalan dengan dialektika yang masif.
Dalam keberlebihan itu, yang
menjadi pionir utama sekaligus ruh pada kasus ini adalah perempuan. Jika kita
cermati, hampir di semua media sosial (twitter, facebook, instagram, dan
youtube), perempuan menjadi bahan utama dalam menjual informasi itu sendiri. Perempuan
dikemas sedemikian rupa guna menjual nilai dari informasi itu sendiri. Mulai
dari gaya hidup, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, agama, hingga pada ranah
yang sangat intim (sex) sekalipun, perempuan coba dihadirkan di sana.
Kita ambil contoh, di
Indonesia khususnya, jumlah pengikut akun instagram perempuan lebih banyak
ketimbang pengikut akun instagram laki-laki. Baik artis maupun publik,
permasalahannya sama. Pengikut Ria Ricis (riaricis1795) memunyai pengikut 11,8
JT, sedangkan kompetitor laki-lakinya (Atta Halilintar (attahalilintar) hanya
memunyai pengikut 4,2 JT. Sedangkan artis Raffi Ahmad (raffinagita1717) memunyai
pengikut 28JT, dan Ayu Ting Ting (ayutingting92) memunyai pengikut 30,1 Jt.
Belum lagi, akhir-akhir ini girl band Black Pink juga telah menjadi wacana
perempuan yang mendominasi. Itu merupakan data bahwa perempuan dalam hal ini
lebih dominan ada dan hadir ketimbang laki-laki. Efek atas unggahannya
sangatlah besar mengingat pengikut mereka juga besar.
Itu dari segi pengikut
instagram. Dari segi nilai jual, perempuan jauh meninggalkan laki-laki. Hampir
semua produk informasi yang dikemas dalam tubuh wacana, bila perempuan
dihadirkan di dalamnya, akan mendongkrak nilai jual itu sendiri. Mulai dari hal
yang paling mendasar, sampai pada ranah intim (sex) sekalipun, perempuan akan
dihadirkan. Kita bisa melihatnya, hampir semua unggahan yang di dalamnya ada perempuan
(entah dalam gerak, tindakan, penawaran, jasa, produk, humor, gaya hidup,
pendidikan, atau apapun bentuknya) pasti banyak peminatnya.
Mulai dari humor sampai
produk kevulgaran. Perempuan selalu hadir dan mencoba dihadirkan pada sela-sela
itu. Yang paling parah dan sangat banyak ditemui adalah dari wacana kecantikan,
kesehatan, dan keintiman.
Memang, kecantikan dan
perempuan dalam hal ini tidak bisa dipisahkan. Tetapi dalam konteks ini, ada
keberlebihan peran yang justru telah sangat menjerumuskan. Perempuan di sini
benar-benar diekspos sekaligus mengekspos dirinya sendiri secara berlebihan
dalam kesadarannya. Bahkan sering ditemui, perempuan itu juga mendukung dan
berbangga ria atas hal itu. Itu yang menjadi permasalahannya.
Masyarakat dari semua kalangan
(bocah sampai lansia), sedang mengonsumsinya secara mentah-mentah informasi
semacam itu. Yang menjadi bahaya dalam eksploitasi masif ini adalah tidak
adanya filter atas berahi informasi tersebut. Informasi-informasi itu
dikonsumsi dengan sadar sambil tertawa-tawa. Ini permasalahan yang serius, Saat
tubuh manusia beserta lain-lainnya menjadi tontonan manusia itu sendiri secara
terbuka.
Kasus terakhir yang masih
hangat, terkuaknya prostitusi online yang melibatkan para artis. Dalam kasus
itu, yang diekspos secara berlebihan adalah pihak perempuan. Pihak laki-laki
justru hilang ditelan wacana eksploitasi perempuan dengan nominal 80jt. Ini hal
yang sangat miris. Banyak unggahan dan konten yang memuat itu, dan lebih
sadisnya, dalam hal ini perempuan hadir sebagai penonton sekaligus penyuguh
wacana tersebut. Banyak humor dan perundungan yang dihadirkan. Informasi
dijadikan alat untuk melakukan itu.
Melihat fenomena itu,
perempuan harusnya lebih hadir pada wilayah batasan dan koreksi, bukan malah
masuk ke dalam pusaran ekstasi informasi itu sendiri dan menikmatinya. Penguatan
jati diri dan harga diri menjadi senjata utama untuk mengatasi hal ini.
Alih-alih sedang memperjuangkan hak, kesetaraan, dan emansipasi, perempuan
sebenarnya sedang dieksploitasi besar-besaran. Makna emansipasi sudah bergeser
telalu jauh dan berlebih. Pada momen peringatan hari Kartini, pemahaman perihal
emansipasi itu harus dikonstruksi ulang, guna tertatanya kembali semangat
pembaharuan, keberanian, ketangguhan dalam diri perempuan yang sejati
benar-benar tepat guna. Perempuan harusnya lebih bisa mengoreksi permaknaan
perjuangan hak dan kesetaraannya. Dalam era TIK seperti sekarang ini, paradigma
patriarki ataupun feminis harus benar-benar dikonstruksi ulang.
Sudah banyak bukti perihal
eksploitasi perempuan yang massif ini. Beberapa fakta sudah disebutkan di atas.
Itu hanya beberapa contoh yang bisa dijadikan acuan, bahwa memang benar ada
eksploitasi diri pada perempuan itu sendiri, yang dihadirkan secara berlebihan
dalam tubuh informasi. Perempuan seakan menjadi perantara atas berpindahnya
informasi itu sendiri. Sifat tubuh perempuan yang dirasa menjual menjadi dasar
utama alasannya. Bila perempuan tidak sadar akan hal itu, masalah ini tidak
akan terselesaikan. Masalah ini lambat laun akan menjamur, menjadi sebuah trend
yang harus digandrungi dan disebarluaskan, Jati diri perempuan beserta harga
dirinya bakal menuju kehancurannya sendiri. Pada akhirnya, kita hanya akan
melihat tontonan sirkus, yang di mana pemain akrobatiknya bukan singa atau
monyet, melainkan hanya adalah manusia (perempuan).
Komentar
Posting Komentar