Debu Kacamata

Masa lalu manusia selalu indah untuk dikenang betapa pun pedihnya hal itu. Ikol, perempuan yang selalu mengenakan kacamata dengan rambut panjang yang selalu dijepit pinggir, memahami hal itu. Ia selalu memunyai mimpi yang dapat menembus waktu, lalu ia akan kembali ke suatu masa yang sangat lalu, massa kecil. Di sana, ia ingin bertanya pada orang tuanya, mengapa aku dan engkau begini?
         Berbeda dengan orang pada umumnya, kacamata yang digunakan Ikol jarang dibersihkan. Kalau pun ingin membersihkannya, Ikol hanya membersihkan bagian gagangnya saja. Bagian lensanya selalu dibiarkan berdebu. Walau hal itu terlihat aneh dan risih, justru itu yang membuat Ikol nyaman. Orang-orang sering mendapatinya susah melihat dengan kacamata seperti itu, tetapi Ikol tidak memedulikannya, manusia selalu mempermasalahkan urusan dan selera orang lain. Ikol lebih memilih jalannya sendiri.
Setiap sore, Ikol selalu duduk di samping jendela kamar kosnya. Ia ingin melihat matahari berpamitan. Baginya, tidak ada cara yang paling indah dan berkesan dalam perpisahan selain sore yang diganti malam. Ikol menikmati suasana indah itu dengan secangkir teh hangat dan lamunan panjang. Perpisahan antara dirinya dengan orang tuanya sangatlah pedih. Tidak ada perpisahan yang lebih pedih daripada yang dirasakan Ikol. Di senja itulah Ikol belajar, segala sesuatu yang indah tetap harus berakhir dan berganti. Ikol rindu orang tuanya.
Di tempat kos bertingkat dua itu, kamar Ikol letaknya di atas. Ada tangga hitam yang terbuat dari teralis besi. Saat malam, sering terlihat bayangan-bayangan aneh sedang naik-turun di sana. Itu sudah hal yang biasa dirasakan oleh semua penghuni kos. Pernah suatu ketika, Ikol terbangun dari tidurnya hanya karena ia mendengar suara anak kecil yang sedang bermain dengan orang tuanya. Saat dicari tahu, hal itu tidak ada. Seketika Ikol sadar, mungkin ia hanya sedang merindu saja pada masa kecilnya, dan ibunya mencoba hadir lewat suara gaib itu.
Masa kecil Ikol benar-benar kelam. Ia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dengan cara yang naas. Kedua orang tua Ikol tersangka utama kasus bom bunuh diri. Bila mengingat itu, Ikol menangis tiada henti. Air matanya seakan tidak akan pernah habis untuk mengingat hal itu. Tindakan anti kemanusiaan itu terjadi saat Ikol masih duduk di kelas bangku sekolah dasar. Ikol  masih ingat, sebelum tragedi itu terjadi, pagi harinya kedua orang tuanya masih mencium keningnya dengan lembut, masih mengajaknya salat berjamaah, dan pagi harinya, masih saling melepas cium yang mesrah. Tetapi, jalan kebenaran yang ditempuh manusia sangat banyak macamnya, kedua orang tua Ikol memilih meledakkan diri di dua gereja berbeda secara bersamaan. Sontak, tragedi kemanusiaan itu menggemparkan seisi kota bahkan dunia. Motif kejahatan yang berkedok agama selalu menjadi bahan yang mudah tersulut. Hari itu, semua orang memaki, mencaci, menghardik, mencekam, dan merundung segala hal yang berkaitan dengan bom. Sekolah diliburkan, jalanan menjadi lengang, tempat-tempat yang berpotensi dibom tiba-tiba menjadi sepi. Semua itu karena teror bom yang dilakukan oleh kedua orang tua Ikol. Belum lagi, korban yang berjatuhan cukup banyak. Sanak-saudara korban berada di garda depan dalam menyerapai tindakan teror itu. Teroris jancuk, teroris jancuk. Selain itu, media juga tidak tinggal diam. Media masa sangat getol dalam mengekspos tragedi ini. Wacana teroris disebar ke segala penjuru, itu membuat semuanya semakin mencekam.
Mengingat itu, Ikol benar-benar terbenam dalam kesedihan yang berkepanjangan. Sejak saat itu, banyak orang merundungnya tanpa henti. Hal itu benar-benar menghantuinya. Setiap kali pergi bermain, teman-teman Ikol selalu mengolok-oloknya, anak teroris, teroris jancuk. Olok-olokan semacam itu membuat lorong kepedihan yang panjang dalam diri Ikol. Ada rasa sakit tapi tidak berdarah, itu yang dirasakan Ikol. Bukan hanya itu, orang tua yang mengetahui Ikol anak pelaku teror bom langsung melarang anak-anaknya bermain dengan Ikol. Katanya, jangan dekat-dekat, anak itu selalu menempelkan bom di balik bajunya.
Apa yang tersisa dari diri manusia bila tidak memunyai teman? Ikol bingung dan sedih memikirkan itu. Saat anak-anak yang lain sedang asik main boneka, kejar-kejaran, dan masak-masakan, Ikol hanya terasingkan di pinggir lapangan. Sampai permainan selesai pun, Ikol tetap terasingkan, tak diajak, Ikol pun pulang dengan perasaan tangis yang dalam.
Perasaan Ikol benar-benar teriris. Setiap tindakannya selalu dicurigai. Saat masuk ke sekolah, hanya Ikol yang digeledah. Pernah suatu waktu salah seorang wali murid enggan memasukkan anaknya sekolah hanya karena melihat Ikol membawa tas kresek hitam yang padat. Barang itu disangka sisa bom rakitan kedua orang tuanya. Kecurigaan itu langsung menyebar ke seantero sekolah. Padahal, kresek hitam itu hanya berisi dua nasi bungkus. Lantas, sekolah pun jadi bingung menanggapinya. Sebab, karena dugaan itu, hampir rata-rata orang tua memilih tidak menyekolahkan anaknya. Ikol bingung saat dirinya dipanggil oleh pihak sekolah. Ikol hanya bisa menangis. Demi alasan keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kedamaian, pihak sekolah sejak saat itu selalu menggeledah Ikol, memperlakukan Ikol dengan khusus. Tidak berhenti di situ, masalah tersebut benar-benar dianggap serius oleh salah seorang wali murid. Anak wali murid tersebut kebetulan satu bangku dengan Ikol, demi alasan keamanan, orang tua itu rela menyumbang metal detector untuk sekolahan. Ikol yang tidak tahu apa-apa hanya merasa risih dan sedih saat dirinya diperlakukan beda dengan yang lainnya. Metal detektor dan penggeledahan benar-benar membuat Ikol merasa diasingkan. Tidak seharusnya ia menanggung beban hidup yang demikian. Tetapi manusia selalu memunyai perasaan dendam. Ikol sedang menghadapi dendam itu.
Semua itu berjalan tanpa pernah Ikol tahu alasan orang-orang demikian. Yang Ikol tahu, dirinya selalu sendiri, tatapan orang lain terlalu tajam baginya. Itu yang membuat Ikol mulai memakai kacamata. Kacamata yang jarang dibersihkan. Ikol selalu memakainya saat bepergian. Biarkan kacamata itu berdebu, katanya suatu ketika, aku selalu menangis tatkala aku melihat sorot mata manusia-manusia itu. Biarkan debu itu yang menutupinya.
Kini Ikol sudah beranjak dewasa. Ia tumbuh menjadi pribadi yang cantik. Kata sebagian orang, dia mirip ibunya saat muda dulu. Rambutnya hitam panjang lurus. Sesekali selalu dijepit oleh pengait sederhana di bagian sampingnya. Walaupun demikian, tetap saja, kepedihan Ikol belum berakhir. Orang-orang tetap saja mengait-ngaitkan semuanya dengan masa lalunya. Sekali teroris tetap teroris, ada darah teroris dalam tubuhnya. Orang-orang masih saja takut bahwa bukan hanya kecantikan ibunya saja yang menurun, melainkan sikap dan kepercayaan jihadnya akan menurun pula. Itu prasangka yang selalu Ikol dengar. cibiran-cibiran terus menghantui Ikol di setiap saat. Tragedi bom bunuh diri itu terjadi 28tahun yang lalu, dan kini orang-orang masih saja menghubungkannya. Ikol tak percaya bahwa perasaan orang-orang yang tersakiti bisa bertahan begitu lama. Entah sampai kapan, Ikol menangis saat memikirkan itu. Harus sampai kapan, Tuhan?
Ikol benar-benar sendiri. Selama ini ia hidup dengan kaki tangannya sendiri. Ikol bekerja di pabrik sepatu. Namanya juga pabrik, jam kerja di sana begitu padat. Pergi pagi pulang pagi pernah Ikol jalani. Di pabrik, Ikol memunyai teman yang sangat dekat. Hanya dia yang mengerti keadaan Ikol, tidak dengan yang lainnya. Ikol selalu memangilnya Kentur. entah apa artinya, Ikol merasa nyaman dengannya, begitu pun sebaliknya. Dua perempuan itu seperti telah menemukan pelengkap hidupnya masing-masing. Saat mereka jalan bersama, dunia terasa milik mereka berdua. Pertemanan itu bermula sejak 5tahun yang lalu di pabrik sepatu. Ikol yang merasa terasingkan selama ini tiba-tiba mulai merasakan hawa pertemanan yang damai dalam diri Kentur. Hal itu terbukti, Kentur memang pribadi yang begitu baik. Tidak seperti orang-orang yang dikenal Ikol selama ini, Kentur memandang Ikol dari sudut lain. Sudut yang tidak pernah dicoba oleh orang lain. Bagi Kentur, Ikol sosok yang luar biasa tangguh dan mandiri. Tidak banyak orang yang memiliki kepribadian seperti itu. Hal itu menunjukkan bahwa sudut pandang orang lain menentukan pikirannya.
Begitu banyak yang diceritakan Ikol pada Kentur selama 5tahun ini.  Itu membuat Kentur tahu kesukaan Ikol. Dulu setiap sore, Kentur selalu menraktir Ikol es ting-ting kesukaannya, sebelum penjual es ting-ting itu meninggal. Ikol sangat menyukai es ting-ting. Kentur tahu itu. Suatu malam, Ikol bercerita panjang lebar mengenai masa lalunya, dan es ting-ting adalah bagian terpenting dari masa lalu itu. Dulu, sewaktu ibunya masih hidup, Ikol selalu diajak bermain ke taman, dan di sana ibunya akan membelikannya es ting-ting. Bukan rasa es ting-ting yang melekat hingga sekarang, melainkan ada kenangan yang terasa mengabadi dan satu-satunya. Selain itu, Ikol juga selalu mengingat perkataan ibunya, bahwa cinta manusia itu seperti es ting-ting ini, setelah mencair, manisnya sudah tidak ada lagi. Berbeda dengan emas, walaupun cair, emas tetaplah emas. Ikol mengingat betul petuah itu. Airmatanya pun jatuh. Dalam. Kentur yang mengusapnya.
Walaupun Ikol sudah memunyai seorang Kentur, tetap saja ia merasa sendiri. Hampir setiap sore hingga malam dirinya selalu dirundung kesepian. Pernah suatu ketika Ikol menangis hebat bukan karena dibully teman atau digosipkan ibu-ibu, melainkan karena seorang lelaki. Bagimana pun, Ikol adalah manusia yang memunyai hati dan cinta. Ikol pernah jatuh hati kepada seorang lelaki penjual kelapa muda, mereka berdua sempat dekat dan sudah pacaran. Ikol sangat bahagia dengan itu. Ternyata Tuhan mulai mengalirkan cinta padanya. Karena lelaki itu, senyum dari bibir Ikol mulai sering terlukis. Setiap malam Ikol selalu menulis puisi-puisi cinta. Begitulah kedigdayaan cinta, rasanya tak terhingga, hanya bisa dirasakan, tidak untuk dijelaskan. Kentur yang mengetahui hal itu cukup bahagia. Sejak pacaran dengan lelaki penjual kelapa muda itu, kacamata yang berdebu itu perlahan terlihat bersih. Ikol mulai rutin membersihkannya. Itu semakin menambah kecantikan Ikol. Alis matanya yang tebal sangat terlihat menawan. Aku ingin melihat wajah lelakiku dengan benar, kata Ikol saat ditanya alasannya mengapa penampilannya berubah. Wajah lelaki itu ditumbuhi rambut hitam yang tipis, itu yang membuat Ikol tidak bisa tidur saat memikirkannya. Orang jatuh cinta selalu terlihat aneh dan bodoh.
Permasalahan tiba-tiba bermula saat Ikol menceritakan masa lalunya yang kelam. Bagi manusia, masa lalu itu abadi, tidak bisa diubah-ubah. Tuhan mencabut cinta dari diri Ikol. Usut punya usut, ayah dari lelaki penjual kelapa muda itu ternyata salah satu korban bom bunuh diri yang terjadi 28tahun lalu. Mengingat hal itu, lelaki itu masih belum menerima bila ayahnya mati karena bom. Lelaki penjual kelapa muda itu dengan sepihak langsung memutus ikatan kekasih terhadap Ikol. Tidak ada yang bisa mencegah ketetapan takdir manusia. Ikol akhirnya harus merasakan patah hati untuk pertama kalinya dalam hidup, dan itu sangat sakit dan dalam, tak terlupa.
Patah hati ternyata lebih sakit dari gunjingan, olokan, aib, atau apa pun hal pedih di dunia ini. Ikol benar-benar terbenam dalam kepedihan yang tak berdasar. Ia tidak tahu mengapa semua orang memperlakukannya demikian. Semangat dari Kentur sudah tidak mampu menghentikan tangis Ikol setiap malam. Ingin rasanya Ikol membalas dendam kepada semua orang yang telah menyakitinya tanpa terkecuali, tetapi Kentur berhasil meyakinkan Ikol bahwa balas dendam itu tindakan yang paling hina. Kentur berharap Ikol tetap bersabar dengan semua ini. Tetapi itu hanya sesaat, keinginan balas dendam selalu membayangi Ikol. Pikiran Ikol lambat laun semakin berkecamuk.
Suatu malam, Ikol mimpi didatangi ibunya, diajak pergi bermain dan membeli es ting-ting. Ikol disuruh memakai ransel hitam yang lumayan berat.
“Ini berat, Ibu,” kata Ikol.
Ibu itu hanya diam dan langsung memaksa Ikol memakainya. Dengan susah payah Ikol jalan. Ransel itu benar-benar berat.
“Ibu, ini berat,” keluhnya.
“Hidup ini memang berat, Nak,” jawab ibu itu. “Jangan lepas tas itu. Di dalamnya ada bom.”
Saat Ikol sudah mulai lelah dan ingin melepaskan tas itu, Ikol langsung terbangun. Wajahnya basah dengan keringat dingin. Nafasnya berburu. Di luar terdengar suara gagak. Ikol semakin takut. Lalu, ia mencoba menjamah mimpinya lagi. Mimpi itu mengingatkannya pada sebuah koper yang ada di dalam lemarinya. Koper itu milik ibunya dulu. Sudah lama Ikol tidak membukanya lagi. Dulu saat pertama kali membukanya, Ikol sangat takut dan bingung. Waktu itu ia masih kanak-kanak. Begitu melihat rangkaian kabel yang rumit serta beberapa logam, paku, seng, dan kawat, Ikol benar-benar takut. Ikol mengira itu adalah sebuah petasan yang besar dan mahal, tetapi pikiran itu langsung hilang tatkala ia ingat gunjingan orang-orang perihal kedua orang tuanya yang teroris. Dengan keadaan setengah tidak yakin, Ikol langsung menutup koper itu rapat-rapat. Takut benda itu meledak seperti apa yang ditakutkan orang-orang. Sejak saat itu Ikol tak berani membukanya lagi. Malam ini ibunya mendatanginya lewat mimpi, dan Ikol ingin membukanya untuk yang kedua kalinya.
Hari ini, Kentur tidak melihat Ikol sama sekali di pabrik. Kentur cemas. Semenjak patah hati melandanya, nafsu makan Ikol menurun, dan lebih sering melamun tidak jelas. Kentur sangat mencemaskannya. Patah hati selalu memunyai cara membuat manusia tak berdaya dan tenggelam.
Pekerjaan lembur yang mengharuskan Kentur pulang malam. Itu membuat ia harus menunda menemui Ikol di kosnya.
Saat pagi-pagi buta, saat semua orang sedang tidur pulas-pulasnya, tiba-tiba terdengar ledakan yang membahana dahsyat. Sontak, semua orang terbangun dari tidurnya termasuk Kentur yang masih mengantuk. Suara ledakan yang menyerupai bom itu berasal dari kampung sebelah, tempat kos Ikol. Kentur yang mencemaskan Ikol dari tadi pagi, langsung bergegas mencari informasi. Ternyata, ledakan bom juga terjadi di SD dan di salah satu rumah dekat penjual kelapa muda. Ketiga ledakan itu terjadi secara bersamaan. Entah apa motif dari semua ini. Suasana pagi langsung berubah menjadi suasana teror yang mencekam.
Kentur langsung naik ke lantai atas kos Ikol. Kamar itu tertutup rapat dengan gembok yang besar. Di gagang pintu itu, ada kacamata berdebu yang menggelantung. Kentur menangis bersama korban-korban bom. Sementara pagi harus tetap datang dan hari harus tetap dijalani.
Ikol melangkah dengan gontai membawa kenangan dan masa lalunya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”