Koper Sofiana


Aku disuruh menunggu di sini. Koper itu ditinggalkannya begitu saja. Entah apa isinya, aku tidak berani membuka. Sofiana hanya menyuruhku duduk dan menunggunya. Aku hanya mengangguk, dia terlihat keburu. Aku tidak bisa mencegahnya, hanya bisa mengamatinya. Di Bandara International Juanda dia pergi.  Sementara aku di suruh menunggu di sini.
Mobil Pajero putih itu datang, aku melihatnya. Beberapa orang berbadan agak tegap keluar, tidak lama setelah itu saku atas Sofiana berbunyi. Melihat layar putih itu, Sofiana sontak langsung pucat pasi. Aku mengamati betul ekspresinya saat mengangkat panggilan itu. Sofiana tak bergeming, dia hanya menyimak, sesekali hanya dengan jawaban iya.
Panggilan itu berakhir. Sorot mata tegang kembali aku tangkap, Sofiana mengemasi barang bawaannya, hanya menyisahkan koper. Aku belum berani bertanya. Tetapi dia menatapku dalam-dalam. Aku berdiri, mencoba meraih tangannya, tetapi tak bisa.
“Tunggu aku di sini,” katanya lalu pergi.
Aku hanya mengangguk, tidak bisa mencegah. Saat itu aku bingung dengan semua ini. Padahal, pesawat akan segera lepas landas.
Sofiana masuk ke Pajero putih itu. Aku melihatnya. Dia mau ke mana? Pintu langsung ditutup dan mobil itu pergi. Sementara aku langsung mengambil dan mencoba menghubunginya lewat pesan singkat, ke mana? Tetapi, tidak ada laporan terkirim. Seketika aku panik. Mencoba mengamati arah laju Pajero itu, mengejarnya, sebelum akhirnya hilang.
Aku dan Sofiana berencana pergi liburan ke Jogjakarta, selain ingin melihat pameran seni di sana, Sofiana juga ingin berpose di jalan Malioboro. Itu rencana kita sebulan yang lalu. Katanya malam itu, dia ingin menikmati angkringan yang paling terkenal di sana. Dia juga menyuruh saya membawa gitarlele serta kamera agar dapat menyanyikan lagu Kla Project dan memotret tugu Jogja. Tetapi kini dia pergi menyisahkan sebuah koper, sementara aku semakin bingung. Sebentar lagi pesawat akan lepas landas.
Beberapa kali aku melihat ponsel, masih belum ada berita terkirim dari operator. Gundah gulanaku tak terbendung, aku langsung mencoba meneleponnya. Ternyata tidak bisa, ponsel Sofiana dimatikan.
Aku duduk, kembali berdiri, duduk lagi, terus begitu. Ini perasaan cemas yang dicampur dengan kebingungan serta kepanikan. Sudah 20menit Sofiana pergi. Rencana liburan ke Jogja bakal gagal, pesawat sudah hampir berangkat.
Melihat kemungkinan itu, aku langsung berdiri, setidaknya aku harus mencari tahu.
Baru beberapa langkah aku berjalan ponselku berdering. Aku buru-buru mengangkatnya, ternyata hanya miscall sekaligus ada pesan masuk. Nomor ini tidak aku kenal, nomor baru.
Kamu segera balik saja, bawa kopernya pulang, tulis pesan itu.
Aku tambah  bingung, aku langsung mencoba menelepon, tidak tersambung.
Aku yang bingung hanya bisa mencoba menuruti pesan itu, lagi pula pesawat sudah tidak mungkin aku kejar seorang diri. Jogja biarlah berlalu. Aku terus mencoba menghubungi nomor itu dan nomornya Sofiana walaupun berkali-kali gagal pula.
Sebelum memutuskan mencari taksi, aku mencoba menghubungi teman terdekatku.
“Ada apa?” tanya suara dari seberang sana.
“Sofiana menghilang,” jawabku. Lalu aku menjelaskan peristiwa yang singkat itu.
Temanku langsung ikutan panik. Bagaimana pun, Sofiana adalah anak pejabat Negara. Caranya pergi bisa menimbulkan tanya dan masalah. Apalagi kalau sampai hilang semacam ini. Bisa jadi trending topik nasional.
“Kamu jangan kemana-mana, tunggu aku di sana. Aku akan menjemputmu.”
Sofiana anak anggota DPR, hanya saja beberapa bulan papanya sering disorot media. Itu membuatnya risih. Sofiana sering cerita saat makan malam waktu itu, bahwa keluarganya sudah tidak setuju dengan sikap ayahnya. Perihal sikap yang bagaimana, waktu itu Sofiana tidak melanjutkan ceritanya.
Kasus yang melanda ayah Sofiana masih simpang siur. Di negeri ini kalau masih belum pakai jaket oranye masih diperbolehkan jalan-jalan sambil selfie. Alasan pergi ke Jogja selain berlibur, Sofina juga ingin menemui seorang pengacara. Entah apa alasannya, pengacara itu sangat dekat dengan keluarganya, ada urusan penting, katanya, tidak bisa diwakilkan. Aku hanya bisa meng-iya-kannya dan sekarang Sofiana menghilang dibawa Pajero putih.
Tidak lama berselang, ponselku kembali berdering, temanku sudah berada di parkiran. Aku segera ke sana.
Aku pun langsung masuk, temanku langsung menghidupkan mesin.
“Antar aku ke rumah Sofiana,” pintaku.
Di dalam mobil, aku menceritakan kronologi Pajero putih itu hingga pesan dari nomor yang tak kukenal. Temanku masih sangsi dan ikutan bingung. Ke rumah Sofiana mencari tahu merupakan cara yang logis.
“Aku tahu, beberapa bulan terakhir Sofiana dan keluarganya sedang ada masalah,” terang temanku.
“Aku juga merasakan itu. Sofiana sering cerita.”
Saat mobil itu melaju di atas aspal Surabaya, aku juga sibuk menghubungi Sofiana dan nomor yang tak kukenal itu. Tetap saja, masih belum tersambung.
Jalanan cukup lengang, dan sampai juga di depan rumah Sofiana. Aku langsung turun. Rumah itu terlihat kosong. Biasanya ada tukang kebun yang sedang asik membersihkan taman atau mencuci mobil. Tetapi kali ini hanya ada gerbang yang bergembok. Aku mencoba menggedor gerbang itu. Beberapa kali aku berteriak salam, tidak ada yang merespon. Rumah Sofiana terasa sepi. Cemasku membuncah hebat. Temanku juga demikian. Semuanya menghilang dalam waktu sesingkat mungkin.
“Rumah ini sepi, tidak biasanya. Sebaiknya kita pergi ke rumah tantenya,” kataku. “Biasanya Sofiana ke situ.”
Tanpa banyak bicara mobil itu langsung berpacu.
Suasana mobil ini terasa tegang. Aku menyalakan radio dalam mobil. Sontak segalanya pecah. Berita di radio itu menyatakan bahwa ayah Sofiana tertangkap KPK, dugaan kasus korupsi.
Mendengar hal itu, aku dan temanku saling pandang, mobil melambat, dan segera memasang telinga tajam-tajam. Ternyata benar, nama ayah Sofiana disebutkan beberapa kali dengan jelas. Lantas ke mana Sofiana?
Aku takut Sofiana terlibat terlalu dalam pada kasus ini. Yang aku tahu selama ini, Sofiana selalu berusaha hidup dengan kaki dan tangannya sendiri, tidak mengandalkan harta orang tuanya. Kalau sekarang orang tuanya ternyata terdakwa kasus korupsi, aku tidak terima bila Sofiana juga harus menanggung dampaknya. Sofiana kamu di mana? perasaan cemas ini terus menggelayuti.
Aku jadi ingat beberapa orang di Bandara tadi. Apa orang itu suruhan keluarga Sofiana? Segala pertanyaan berpendar di kepala. Yang membuat aku meledak-ledak adalah tidak aku temui seorang pun di rumah Sofiana. Yang paling masuk akal, mungkin tadi Sofiana dijemput oleh keluarganya, diajak bersembunyi atau pergi, aku tidak tahu. Sementara di saluran radio yang lain juga tersiar kabar yang serupa.
Begitu sampai, ternyata rumah tante Sofiana juga gembokan rapat. Tidak terlihat ada hawa kehidupan. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku dan temanku saling menatap.
“Di sini juga tidak ada orang,” kata temanku, “Sebaiknya kita juga harus pergi sebelum ada wartawan yang melihat kita. Itu gawat jika sampai terjadi.”
Kami pun memilih pulang.
Hari demi hari kabar mengenai kasus korupsi itu kian santer. Media massa dan televisi menyorot habis-habisan. Dana yang dikorupsi lumayan besar. Terdengar kabar juga dana itu mengalir ke beberapa orang besar dalam partai. Hampir setiap pagi, berita korupsi tersebut menjadi headline. Banyak orang yang menunggu-nunggu lanjutan kasus ini. Kabar terakhir yang tersiar, ayah Sofiana sudah memakai jaket oranye saat digelandang polisi. Itu aku pastikan saat sore melihat televisi. Aku tidak tahu, mengapa para tersangka kasus korupsi selalu bisa tersenyum saat di depan kamera. Narsisnya sungguh terlalu atau memang sudah tidak punya malu. Sementara Sofiana masih tetap tidak ada kabar. Sebenarnya itu yang lebih pening.
Sofiana benar-benar menghilang, itu kesimpulanku. Terakhir kali aku bersamanya saat di Bandara sebelum Pajero putih itu membawanya. Sofiana diculik atau sengaja menghilang untuk menghindari kenyataan, aku tidak tahu. Nyaris tidak tercium hawa kehidupannya. Aku takut Sofiana stress dan frustasi menanggung semua ini. Di media sosial pun demikian, aku tidak melihat kehadiran Sofiana sama sekali. Hanya koper hitam ini yang tersisa.
Setiap hari aku selalu sempatkan untuk menghubungi kerabat-kerabat Sofiana. siapapun, walau hanya berakhir dengan jawaban tidak, aku tetap menghubunginya tiap hari. kemungkinan selalu saja mungkin untuk dijalani. Terakhir kali yang memberi jawaban adalah tantenya. Itu pun hanya singkat dan cenderung tidak jelas.
“Kamu tidak usah cari Sofiana lagi,” kata tante itu lewat pesan singkat.
Apa Sofiana telah diamankan keluarganya?
Aku semakin tidak tahu harus mencarinya ke mana lagi. Temanku sudah hampir menyerah. Lapor polisi juga tidak mungkin. Aku bukan keluarganya atau orang terdekatnya. Aku hanya teman terdekatnya saja, tidak lebih. Tetapi aku sangat merasa kehilangan.
Kasus korupsi yang melibatkan ayah Sofiana sudah pada tahap sidang. Banyak nama-nama besar pejabat tinggi tersangkut, ayah Sofiana membeberkan itu. Negeri ini sudah benar-benar kacau. Melihat semakin semrautnya kasus korupsi di negeri ini, aku semakin muak, semakin tak peduli, dan semakin merasa kehilangan. Karena kasus korupsi yang menjerat ayahnya, Sofiana hilang entah kemana. Aku selalu membayangkan Sofiana duduk sendiri di sebuah rumah, sementara di luar hujan deras. Lalu, ia melihat rintikan hujan itu, membayangkan diriku, lalu ia menuliskan sebuah surat dan menitipkannya pada angin, aku di sini, kemarilah, ayo kita ke Jogja. Aku selalu membayangkan itu.
Kala itu malam, aku yang sudah frustasi, tiba-tiba mendengar sura ponsel berdering. Ternyata ponselku. Nama temanku yang tertera. Aku langsung menerimanya.
“Sofiana tidak hilang. Dia di luar negeri,” katanya.
“Serius? Di mana?”
“Swiss.”
Sontak aku langsung terjingkat. “Aku ke rumahmu. Sekarang!”
Sofiana tidak menghubungiku langsung. Tapi dia menghubungi temanku. Mengapa? Aku mempertanyakan itu saat perjalanan ke rumah temanku. Tidak kudapat jawaban yang pasti.
“Sofiana tidak berbicara panjang lebar,” terang temanku saat aku tanya langsung. “Dia hanya memberi tahu bahwa dia baik-baik saja. Kamu tidak perlu cemas memikirkannya.”
Aku masih tidak bisa menerima. “Mana nomor telepon Sofiana tadi?”
Aku langsung mencoba menghubunginya, tetapi gagal, gagal, dan gagal. Bangsat! Mengapa tidak bisa dihubungi? Hatiku benar-benar ingin berteriak sekencang mungkin. Aku termangu seketika. Tak percaya, Sofiana sudah sangat jauh, di belahan bumi lainnya.
“Sofiana tak akan pernah kembali,” kata temanku tiba-tiba.
“Maksudmu?” aku menatapnya tajam.
Temanku langsung memberiku surat kabar tadi pagi. Aku belum membacanya. Di halaman depan tertulis jelas nama ayah Sofiana dengan embel-embel tersangka utama. Wajah ayah Sofiana terpampang jelas berserta berita korupsinya.
Koran itu langsung aku lempar.
“Simpan saja koper itu. Sofiana berharap kau menyimpannya baik-baik. Sofiana sengaja pergi ke luar negeri bersama saudaranya. Dia malu atas apa yang terjadi dengan ayahnya.”
Aku tak percaya. Tuk kesekian, aku gagal menghubunginya. Kubenamkan kepalaku dalam-dalam, membayangkan wajah Sofiana saat di Bandara waktu itu. Senyumnya, rambutnya, sepatunya, serta bando yang sering digunakannya. Aku masih mengingat itu, sebelum dia dibawa Pajero putih ke Swiss.
Seharusnya dia tahu bahwa aku merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya. Caranya pergi sungguh menyisahkan luka. Jika memang tak berencana kembali, setidaknya beri aku ucapan salam termanis.
Tepat tanggal 28 Maret, saat aku membaca puisi Sapardi, ada pesan masuk di ponselku. Kala itu malam, begitu hening. Nomor itu tidak aku kenal, sangat asing. Itu bukan nomor Indonesia.
Maaf, aku pergi begitu saja tanpa mengucapkan perpisahan. Jangan menangis, aku tahu kamu cowok yang cengeng. Tetapi aku sangat beruntung mengenalmu. Kamu orang paling baik  dan tulus yang pernah kukenal, terimakasih. Mungkin, tugu Jogja, angkringan, serta pameran seni itu hanya bisa kita bayangkan. Sebab, aku tak mungkin kembali ke Surabaya. Jangan menangis, tetaplah yakin bahwa suatu saat kita akan kembali merencanakan hal-hal sederhana yang indah. Biarlah angan Jogja menjadi kenangan kita. Aku hanya ingin kau percaya, berjalan seorang diri itu berat dan gak asik. Begitulah takdirku dan aku tahu takdirmu ada di dalam dirimu.  Aku sayang kamu. (Swiss, Sofiana)
Air mataku menetes. Aku benamkan dalam-dalam wajahku, menangis.
Tidak jauh dari tempatku duduk, kulihat sebuah koper berwarna hitam, hanya itu yang tersisa. Aku melangkah, membukanya. Berisi pakaian, bunga, dua lembar puisi yang pernah aku untaikan, dan beberapa foto.
Ambillah koper ini, aku menunggumu, Sofiana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsur Intrinsik dalam Ludruk

Perbedaan Lazim dan Wajib

Alih Wahana Dari Puisi “Bandara Internasional Abu Dhabi” Menjadi Cerpen “Sorot Mata Syaila”